Cari Blog Ini

Pengikut

Laman

Selasa, 01 Januari 2008

2008 - Pertarungan Komitmen Dan Momentum

ANALISIS
2008,Pertaruhan Komitmen dan Momentum
Rabu, 02/01/2008

HAMPIRsetiap awal tahun baru,saat-saat kita menilai catatan dan pencapaian tahun sebelumnya, kita justru dirundung kedukaan karena berbagai bencana alam.Tahun ini juga demikian.

Kita melihat banjir dan tanah longsor di berbagai daerah. Berbagai bencana tersebut seakan mengingatkan betapa besar masalah dan tantangan yang sedang kita hadapi, sekaligus suatu pertanda agar kita tak boleh cepat berpuas diri. Paling kurang ada tiga cara untuk menilai suatu prestasi.

Pertama, dengan membandingkan capaian tahun sekarang dengan tahun sebelumnya. Kedua, dengan membandingkan apa yang kita capai dengan apa yang dicapai negara lain yang sebanding. Ketiga, membandingkan capaian dengan target yang diharapkan atau yang seharusnya dapat dicapai. Dengan cara pertama, capaian yang diperoleh selama 2007 lebih baik dibanding 2005 dan 2006.Ekonomi tumbuh sekitar 6,3%,melebihi prestasi 2006 yang hanya 5,5%. Indikator lain juga lebih baik,seperti tingkat inflasi yang lebih rendah, penyaluran kredit yang meningkat, indeks saham yang memecahkan rekor, dan ekspor yang lebih tinggi.

Bila digunakan cara kedua, dengan membandingkan apa yang kita capai dengan sejumlah negara lain, seperti China, India, dan Vietnam, prestasi kita masuk kategori sedang karena negara-negara tersebut mencatat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, rata-rata di atas 8%. Negara-negara tersebut ternyata mampu memanfaatkan peluang eksternal-global yang sama dengan lebih baik. Bagaimana bila cara ketiga yang digunakan? Tentu tergantung target dan harapan mana yang kita pilih.

Dengan acuan target APBN, biasanya tidak akan ada selisih besar karena target-target atau yang dalam APBN disebut sebagai asumsi-asumsi, dapat direvisi dan target dinyatakan sebagai rentang (interval estimation). Kalau yang digunakan janji-janji dalam kampanye, maka hampir dipastikan siapa pun akan gigit jari alias kecewa. Sebenarnya, dengan perbaikan mekanisme kerja dan koordinasi antarinstansi, pertumbuhan ekonomi bisa lebih tinggi. Peran APBN sebagai stimulus ekonomi tidak berjalan maksimal karena pencairan anggaran hampir selalu terlambat.

Pembangunan infrastruktur yang sudah sangat mendesak juga terkendala masalah- masalah internal pemerintahan. Ketiga, membandingkan capaian dengan target yang diharapkan atau yang seharusnya dapat dicapai. Dengan cara pertama, capaian yang diperoleh selama 2007 lebih baik dibanding 2005 dan 2006. Ekonomi tumbuh sekitar 6,3%, melebihi prestasi 2006 yang hanya 5,5%. Indikator lain juga lebih baik, seperti tingkat inflasi yang lebih rendah, penyaluran kredit yang meningkat, indeks saham yang memecahkan rekor, dan ekspor yang lebih tinggi. Bila digunakan cara kedua,dengan membandingkan apa yang kita capai dengan sejumlah negara lain, seperti China, India, dan Vietnam, prestasi kita masuk kategori sedang karena negara-negara tersebut mencatat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, rata-rata di atas 8%.

Negara-negara tersebut ternyata mampu memanfaatkan peluang eksternal-global yang sama dengan lebih baik. Bagaimana bila cara ketiga yang digunakan? Tentu tergantung target dan harapan mana yang kita pilih. Dengan acuan target APBN,biasanya tidak akan ada selisih besar karena target-target atau yang dalam APBN disebut sebagai asumsi-asumsi,dapat direvisi dan target dinyatakan sebagai rentang (interval estimation). Kalau yang digunakan janji-janji dalam kampanye, maka hampir dipastikan siapa pun akan gigit jari alias kecewa. Sebenarnya, dengan perbaikan mekanisme kerja dan koordinasi antarinstansi, pertumbuhan ekonomi bisa lebih tinggi.

Peran APBN sebagai stimulus ekonomi tidak berjalan maksimal karena pencairan anggaran hampir selalu terlambat. Pembangunan infrastruktur yang sudah sangat mendesak juga terkendala masalah-masalah internal pemerintahan. Dalam kasus kayu di Riau, simpang siur kewenangan dan koordinasi antara Departemen Kehutanan dan Kepolisian Daerah menyebabkan hilangnya peluang ekspor bermiliarmiliar dolar. Tentu saja 2007 masih meninggalkan banyak persoalan.

Jangan lupa, di masa Orde Baru kita terbiasa dengan pertumbuhan ekonomi di atas 7%, tetapi tiba-tiba kita dikagetkan betapa kualitas pertumbuhan tersebut sangat buruk, yang akhirnya mengarah pada krisis hebat. Kita tentu tidak ingin mengulangi rute menyakitkan ini lagi. Pertumbuhan tinggi saat itu sangat mengandalkan utang luar negeri (debt-led development), eksploitasi sumber daya alam, dan dikerjakan dengan tingkat efisiensi rendah dalam budaya yang sarat korupsi, kolusi,dan nepotisme (KKN). Dalam kaitan itulah kita tetap menyoroti bagaimana dampak pertumbuhan tersebut bagi kelompok ekonomi menengah-bawah.

Angkaangka pengangguran dan kemiskinan, di luar perdebatan metodologi yang digunakan, tampaknya tetap memprihatinkan. Kelompok ini sangat terpukul dengan berbagai kenaikan harga sepanjang 2007 dan sama sekali tidak terhibur oleh laporan angka inflasi yang rendah. Para penabung kecil juga terus mengalami proses pemiskinan secara sistematis karena bunga riil yang diterima negatif. Usaha kecil semakin kembangkempis dan di banyak bidang tak berdaya menghadapi empasan produk impor. Jumlah mereka yang terlibat dalam kegiatan informal, meski data akurat tak ada, tampak semakin besar, seperti yang dengan mudah bisa kita lihat pada maraknya rumah-rumah kumuh, gubuk liar, jumlah pengamen, pengasong, pengemis, pekerja ojek, wanita penghibur, dan sebagainya.

Pengangguran lulusan sarjana juga semakin mudah terlihat dari membanjirnya surat-surat lamaran kerja yang memperebutkan lowongan kerja terbatas. Sementara pola hidup mewah terus-menerus dipertontonkan oleh kalangan elite. Pesta-pesta di hotel berbintang semakin marak luar biasa. Upacara-upacara seremonial para pejabat di berbagai tingkatan semakin sering kita lihat. Kunjungan-kunjungan Presiden, bahkan untuk melihat banjir sekali pun, disesaki para pejabat yang mungkin meninggalkan tugas utamanya di kantor. Presiden dan Wapres sendiri pernah menyampaikan keprihatinan terhadap pola hidup mewah ini, tetapi mengapa kebiasaan ini tidak juga berubah.

Birokrasi pemerintah juga tetap dipandang bermasalah oleh sebagian besar masyarakat, seperti yang disuarakan oleh para pelaku usaha dalam banyak survei.Tampaknya prinsip birokrat ”Kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah, kalau bisa diperpanjang mengapa diperpendek”masih kuat tertanam. Birokrasi lebih minta dilayani bukan melayani. Persepsi publik terhadap parlemen, kepolisian, dan lembaga penegak hukum yang dianggap sangat korup juga belum berubah.

Bagaimana dengan 2008? Berbagai kalangan, termasuk lembaga- lembaga internasional, menyatakan pertumbuhan ekonomi global akan menurun, sebagai akibat lanjut dari krisis kredit sektor perumahan (subprime mortgage) di AS dan harga minyak yang masih tidak menentu. Ketegangan perdagangan antarkawasan mungkin juga akan semakin meningkat, seperti kisruh soal subsidi pertanian antara AS dan Eropa atau tuduhan praktik bisnis curang antara AS dan China.

Meski demikian, Asia tetap dipandang sebagai wilayah dengan prospek pertumbuhan terbaik, mengingat China dan India masih merupakan pasar yang sangat potensial. Pembangunan infrastruktur dan realisasi komitmen investasi di sektor riil juga diharapkan semakin menguat pada 2008. Bila ini terjadi, tentu akan memiliki dampak pengganda yang besar terhadap kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Keterbatasan dan kualitas infrastruktur yang ada selama ini dipandang sebagai salah satu kendala sisi penawaran (supply-side constraint) yang mengurangi daya tarik investasi dan peningkatan kapasitas ekonomi nasional untuk bertumbuh.

Pemerintah tentu diharapkan semakin tegas (decisive) untuk mengatasi berbagai kekurangan yang terjadi selama ini, dan mempertahankan momentum untuk hal-hal yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi yang semakin berkualitas. Partisipasi Indonesia dalam ajang pasar persaingan global juga harus tetap dikawal oleh peran regulatif yang tidak merugikan rakyat banyak.Kebijakan ”lepas tangan” (hands-off economic policy) yang semata-mata memikirkan keselamatan APBN, tetapi yang membuat beban berat diteruskan langsung ke masyarakat, seperti yang terjadi pada kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM) dan pungutan pajak, sebisa mungkin harus dilakukan secara sangat hati-hati. Masyarakat luas selalu merindukan kebijakan publik yang tegas berpihak kepada rakyat banyak. Dalam segala keterbatasan dan kekurangannya, mereka selalu menyanyikan lagu rindu kepada para pemimpinnya.
* PROF HENDRAWAN SUPRATIKNO PHD*
*Penulis, Direktur Pascasarjana dan Program Doktor IBII, Jakarta.

Tidak ada komentar: