Pidato Kebudayaan
Indonesia Ibarat Gajah Setengah Lumpuh
PADANG, KOMPAS-Mantan Ketua Umum dan kini Penasehat PP Muhammadyah, Ahmad Syafi’i Maarif, dalam pidoto kebudayaannya di Padang, Sumatera Barat, Sabtu (29/12), mengatakan, Indonesia sebagai negara yang sedang bingung merumuskan jati dirinya di tengah-tengah peluang dan ancaman globalisasi yang tidak mengenal rasa iba.
"Indonesia sebagai bangsa dan negara muda, karena kelalaian para pemimpin sejak proklamasi 1945 sampai detik ini, masih tertatih-tatih dan sempoyongan dalam menjaga kedaulatannya yang telah agak lama dilecehkan Singapura dan Malaysia," katanya.
Dengan penduduk sekitar 240 juta dibandingkan dengan Malaysia yang hanya 24 juta dan Singapura 5 juta, Indonesia menurut Syafi’i, ibarat gajah setengah lumpuh. Telinga dan sela-sela jari kakinya dimasuki berbagai jenis semut-semut kecil-kecil yang ganas, sehingga menyebabkan si gajah menjadi gelisah dan tidak percaya diri.
Semut-semut ini berupa manuver-manuver kecil dari Malaysia dan Singapura, dua negara jiran yang lagi bermaya secara ekonomi. Mereka tahu betul bahwa Indonesia sedang sakit yang agak parah. Mereka sedang mengukur Indonesia sampai di mana daya tahannya. Hutan yang 2/3 luasnya sudah gundul semakin menyulitkan posisi Indonesia untuk angkat kepala dalam berbagai pertemuan dunia.
"Sebagai bangsa yang lagi ’gerah’ dengan masalah domestik yang berketiakular, Indonesia sekarang memang tidak memiliki kemampuan diplomasi yang tangguh dan meyakinkan, seperti dulu pernah diperlihatkan Agus Salim, Hatta, Sjahrir, Roem, LN Palar, Adam Malik, Soedjatmiko, Mochtar Kusumaatmadja, dan masih ada nama-anam lain.
Ada semacam kekosongan di ruang diplomasi ini karena banyak dihuni oleh birokrat yang bekerja umumnya secara mekanis dan tunggu perintah," paparnya, di hadapan sekitar 500 pejabat dan tokoh berbagai kalangan, termasuk Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi.
Pada bagian lain Syafi’i Maarif menyorot betapa kumuhnya lingkungan budaya bangsa ini. Di mana-mana ditemui kenyataan merajalelanya cara hidup ikan lele. Semakin air keruh, semakin laham makannya. Fatwa agama, pengarahan pejabat, seruan adat, sudah lama tak berfungsi.
"Jika ada ungkapan lama sebagai kritik terhadap kebebalan seseorang; masuk telinga kanan, keluar telingga kiri, sekarang kondisinya semakin hitam. Masuk telinga kanan, keluar telinga kanan. Segala kritik sosial, nasehat-nasehat agama, petuah-petuah adat seakan-akan tak ada gunanya lagi. Nurahi dan akal sehat sudah lama lumpuh," jelasnya.
Dipaparkan, di lingkungan birokrasi dan aparatur negara dalam upaya melawan korupsi, misalnya, fakta terlihat dalam formula yang menghebohkan ini; "Koruptor dan aparat penegak hukum sebenarnya bersahabat!".
Menurut Syafi’i, Indonesia sedang kehilangan kesungguhan dalam mengurus bangsa dan negara. Dalam suasana mentalitas dan budaya yang keruh ini, adalah sebuah nonsens besar bila para elite masih juga berbicara tentang idealisme, hari depan bangsa, dan tentang melawan kemiskinan, sementara laku mengkhianati itu semua tanpa rasa dosa.
Perasaan tidak takut kepada dosa dan dusta adalah salah satu buah dari penyakit "mentalitas menerabas" yang semakin kronis menggerogoti urat nadi bangsa ini.(NAL)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar