Menatap 2008 dengan Optimistis
SINDO, Senin, 31/12/2007
BARU saja kita dikejutkan oleh peristiwa penembakan Benazir Bhutto pada 27 Desember 2007. Peristiwa ini memilukan karena terjadi di negara yang sudah lama mendengungdengungkan demokrasi. Bhutto yang ini adalah seorang ibu, mantan perdana menteri dua periode, dan yang baru saja kembali dari pengasingan selama delapan tahun di Inggris.
Dengan latar belakang itu, Bhutto kali ini mungkin dianggap lebih hebat dari Bhutto delapan tahun lalu. Peristiwa seperti itu sering terjadi di negara berkembang. Lihat umpamanya Filipina saat Benigno Aquino dibunuh beberapa tahun lalu. Pembunuhan bahkan juga terjadi terhadap mereka yang sedang berkuasa, seperti Anwar Sadat di Mesir, Gandhi di India, Begin di Israel. Toh, di negara yang dianggap kampiunnya demokrasi, Amerika Serikat (AS), upaya pembunuhan juga terjadi. Presiden John F Kennedy meninggal dunia karena ditembak.
Pelaku biasanya “ekstremis” yang bisa dimanfaatkan orang atau organisasi tertentu dan tidak ada kaitannya dengan agama. Pembunuh Sadat adalah seorang penganut Islam; pembunuh Begin adalah seorang Yahudi; pembunuh Aquino dan Kennedy saya yakin beragama Katolik/Kristen. Lalu, apakah dunia akan kiamat? Bagi yang pesimistis jawabannya mungkin ya, namun menurut saya tidak. Ada pengaruh perkembangan politik dunia, tetapi itu tidak seberapa. Justru pengaruh besar yang akan ada pada tahun depan adalah perubahan politik di AS. Jika yang menang dari Demokrat akan terjadi perubahan sangat besar dalam peta dan kondisi politik dunia. Saya yakin itu positif. Kita tunggu drama politik internasional di tahun 2008 yang sudah di depan mata kita dengan optimistis.
Bagaimana dengan Indonesia?
Kita sedih dalam segi kemanusiaan karena di pengujung Desember 2007 ini kita terkena musibah bencana alam di beberapa tempat. Langkah pertama adalah penanganan gawat darurat: bantuan, evakuasi, dan sejenisnya. Dari aspek agama (Islam), ketika terjadi musibah kita diharuskan kembali kepada Allah.
Bukan lantas bunuh diri, namun kita harus merenungkan, mencari akar permasalahan, dan sejenisnya. Dalam premis mayor (muqaddimah kubra), kehancuran itu terjadi sekadar akibat dari ulah manusia sendiri, bahkan bahasanya lebih lugas,”Agar manusia merasakan akibat ulahnya” (Dhaharal fasadu fil barri wal bahri bima kasabat aidinnas liyudziqahum). Yang saya sebut premis mayor itu juga bisa kita katakan lebih tajam lagi sebagai kesimpulan (conclusion/natijah) atau proposisi. Tugas kita mencari akar persoalannya, sebab akibatnya, latar belakangnya, dan sejenisnya. Bisa dilakukan multidisipliner: dari ahli Agama, ahli lingkungan, biologi, dan semua disiplin yang diperlukan baik dari rumpun ilmu sosial, humaniora, maupun sains untuk pengkajian secara detail dan menyeluruh (radikal).
Hasilnya, saya yakin akan bertemu pada titik kerusakan etika/moralitas kita. Saya haqqul yaqin pula akan kebenaran firman Allah bahwa kerusakan bumi itu sebagai akibat ulah manusia. Kini, sudah diakui bahwa di samping sedang terjadi perubahan iklim, juga kelalaian kita yang menyebabkan longsor dan sejenisnya. Kalau setuju, berarti solusinya mudah, setidaknya untuk diucapkan, yaitu benahi moralitas kita. Kita dibolehkan mengeksploitasi bumi demi kemakmuran masyarakat (bukan segelintir orang), namun dengan batasan kita tidak boleh membuat kerusakan bumi. Kita disuruh berbuat baik untuk manusia, bukan mencelakan manusia demi egoisme pribadi/golongan.
Di dalam Alquran banyak sekali peringatan dan ancaman yang akan terjadi ketika melakukan perusakan daratan atau lautan (fasad fil ardh). Pada saat kita membuat keseimbangan antara eksploitasi demi kemakmuran rakyat dengan menjaga bumi atau tidak berbuat kerusakan di atas bumi, di sinilah tugas ilmuwan untuk menjadikan pengetahuan sebagai prosedur operasional. Tugas penguasa (semua lembaga) untuk menetapkan kebijakan publik, menjaga, dan mengawasinya, serta memutuskan hukuman yang prokesejahteraan rakyat dan pelestarian bumi. Tugas penguasa untuk melakukan pengendalian dan pengawasan agar tidak terjadi kezaliman, entah karena salah prosedur, salah implementasi, atau lainnya. Di sini,tugas pengawas untuk menjaga keseimbangan tersebut.
Di sini pula tugas masyarakat menjaga lingkungan demi keberlanjutan kehidupan anak cucu, yaitu bila diperlukan harus diberi pendidikan sekaligus disediakan sanksi dan yang tegas dan adil jika terjadi pelanggaran. Nah, jika terjadi kelacuran ilmuwan, di situlah hilangnya etika. Jika terjadi main mata antara pengawas dengan perusak, di situlah terjadi dekadensi moral. Jika terjadi keserakahan, di situlah pelanggaran agama dan etika. Begitu seterusnya. Di ujung 2007 ini kita disuguhi beberapa peristiwa yang tidak menyenangkan terkait dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) di beberapa daerah.
Bentrok antarpendukung dan sejenisnya. Yang paling meracuni sebenarnya masalah politik uang. Money politics yang tidak ada dalam kamus negara maju sebenarnya merupakan virus jangka panjang bangsa kita, virus yang mematikan dan lebih berbahaya dari segala macam virus. Pada 2008 yang sudah di depan mata kita ini, semoga kita sadar betul dengan peringatan atau bahkan azab Tuhan kepada kita. Caranya, kembali menjaga nilai-nilai etika dan ajaran-ajaran agama kita untuk keamanan, ketenteraman, dan kesejahteraan masyarakat. Kalau ini sudah kita sepakati, maka akan dengan mudah mencari solusi beberapa permasalahan yang terjadi di tahun 2007 untuk tidak terulang pada 2008. Akan tetapi, jika kita masih munafik (dari lembaga apa saja), tunggu kehancuran lebih parah pada 2008 nanti.
Demokrasi Tanpa Moral Sama dengan Kehancuran
Saya yakin, subjudul di atas akan terjadi sungguhan. Definisi terkenal tentang demokrasi dari Abraham Lincoln adalah government of the people, by the people, for the people (pemerintahan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat). Jangan sampai dilupakan kata-kata “untuk” rakyat. Jika berbicara untuk rakyat, berarti rakyat mendapatkan kemanfaatan dari sebuah sistem yang disebut demokrasi, yaitu kesejahteraan rakyat. Demokrasi tidak bisa dipisahkan dengan kesejahteraan rakyat. Bahkan mengenai sistemnya, apakah langsung, tidak langsung, atau lewat perwakilan telah terjadi pelbagai model dalam sejarah dan referensi ilmu politik. Namun, tentang hasil akhirnya tidak dapat diperdebatkan, yaitu kesejahteraan rakyat. Sekali menyebut demokrasi, haruslah orientasi pada kesejahteraan rakyat.
Wakil rakyat, elite rakyat, pengabdi rakyat, adalah bagian dari rakyat. Artinya, kalau sistemnya bisa dengan berbagai model, termasuk perwakilan, namun tujuan dan hasil akhir tidak bisa diwakilkan untuk kesejahteraan wakilnya, elitenya, atau pemukanya. Sama sekali tidak. Maka demokrasi tidak sekadar perebutan kekuasaan untuk egoisme. Namun, merupakan perebutan kekuasaan dengan sistem yang akuntabel, jujur, dan berintegritas demi kesejahteraan rakyat tadi. Ketika Alexis de Tocqueville menulis buku yang sangat populer, Democracy in America, dia memasukkan semangat membantu orang lain merupakan perwujudan demokrasi. Wajar jika Tocqueville juga dinobatkan sebagai bapak voluntarisme.
Lalu, mengapa moral? Moral, moralitas, etika dan akhlak di sini saya maksudkan sama; tidak mendefinisikannya secara spesifik,yaitu mengarah pada perilaku baik(bermoral) dan buruk atau jahat (tidak bermoral). Nilai-nilai baik yang tercakup dalam pengertian moral dari perilaku pribadi, tanggung jawab, kejujuran, ketulusan, dan berorientasi pada kemanfaatan kepada umat manusia. Ketika perilaku atau perbuatan, termasuk kebijakan publik, tidak mengarah pada kemaslahatan umum, berarti tidak bermoral. Bila keputusan diambil demi kepentingan pribadi, berarti egois dan tidak bermoral. Kalau kita sudah bekerja, tetapi masih menggerogoti uang orang lain, berarti tidak bermoral. Menipu rakyat juga berarti tidak bermoral.
Melanggar atau merampas hak orang lain berarti tidak bermoral. Mengintervensi wilayah orang atau lembaga lain dengan tujuan kepentingan pribadi atau golongan berarti tidak bermoral. Ketika berbuat sesuatu atau mengambil keputusan besar dan tidak mau bertanggung jawab, berarti tidak bermoral. Ketika mempunyai atau menerima amanat, namun tidak menjalankan dengan adil, jujur dan tanggung jawab, berarti tidak bermoral. Mengutak-atik aturan demi kepentingan pribadi atau golongan berarti melakukan siasat, trik, hilah, juga tidak bermoral.
Lalu, bagaimana dengan pelanggaran moral dan pelanggaran hukum? Seseorang melanggar moral belum tentu bisa dianggap melanggar hukum.Namun, kita perlu ingat kata-kata Thomas Aquinas, ”law without moral, no law at all” (hukum tanpa nilai-nilai moral bukanlah hukum yang sebenarnya). Sangat mungkin kita bisa mengelabui jeratan hukum, namun belum tentu bisa mengelabui jeratan moral. Terlebih moral agama harus yakin benar akan adanya penilaian (hisab) di akhirat kelak yang sama sekali tidak bisa dikelabui secara formalitas administratif.
Apa kaitannya antara moral dan politik? Politik tanpa moral akan membuat kehidupan menjadi hutan rimba. Yang kuat memakan yang lemah. Tidak ada konsep membantu, menolong, atau sejenisnya. Jelaslah hasilnya akan berupa kehancuran. Segala jenis tindakan atau perilaku yang akan mengakibatkan gagalnya tujuan demokrasi berupa kesejahteraan rakyat adalah tindakan melawan hukum, setidaknya tindakan tidak bermoral. Money politics, pemberian uang kepada pemilih agar mereka memilih seseorang dalam jabatan politik bukan hanya tidak bermoral, namun sudah sampai pada pelanggaran hukum. Ketika demokrasi kita masih dinodai money politics, saya yakin demokrasi kita belum akan mencapai hasil, yaitu kesejahteraan rakyat. Money politics akan membikin korban secara karambol, nyodok satu sama lain dan berakhir pada kegagalan tujuan demokrasi itu sendiri.
Di negara sekuler, money polics itu tidak ada dalam kamus; dan ketika ada praktik, habislah kandidat yang menggunakan money politics itu. Selama para wakil rakyat atau pejabat masih meminta fee kepada rakyat dalam menjalankan tugasnya, seperti dalam pelayanan publik, selama itu pula demokrasi di Indonesia 2008 akan suram. Menurut hemat saya, selama ini problem utama kita adalah moralitas ini.Jika dalam tahun 2008 kita mampu dan tentu ada kesanggupan membenahinya, saya yakin demokrasi dan kehidupan politik kita akan menghasilkan kesejahteraan rakyat yang semakin nyata. Lalu, solusinya apa? Hanya satu kata: kemauan. Ilmu pengetahuan sudah cukup.
Perangkat hukum sudah bisa dibilang cukup. Aturan main sudah cukup. Kritik sudah cukup. Tinggal mau atau tidak. Itu saja. Kemauan ini harus didasari ketulusan, kejujuran, integritas, dan tanggung jawab.
Demokrasi versus Civil Society
Menarik untuk kita kaji pelajaran dari Eropa Timur di akhir 1980-an yang merasa baru merdeka dari jajahan elite bangsanya sendiri. Mereka lebih senang menggunakan istilah civil society atau masyarakat madani daripada menggunakan demokrasi. Alasannya, mereka sudah jenuh dengan istilah demokrasi yang dalam praktiknya tetap sering melahirkan keputusan dan kebijakan yang incivil (tidak beradab) — atau meminjam istilah John Hall, democracy can be decidedly incivil.
Ini perlu menjadi inspirasi kita ketika demokrasi yang kita usung sejak reformasi banyak terjebak dalam kendala untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Ketika demokrasi kita harus dengan money politics, ketika demokrasi kita hanya berorientasi pada elite, ketika demokrasi kita lebih pada formalitas mayoritas versus minoritas tujuan kemaslahatan umum, ketika dalam demokrasi kita terjadi pemerasan dan pemalakan, maka demokrasi sudah dinodai dengan nilai-nilai yang sama sekali tidak bermoral dan dapat dipastikan akan kegagalannya.
Mungkin ketika kita menyebut demokrasi tidak secara otomatis terbayang kesejahteraan rakyat, sehingga masyarakat Eropa Timur lebih suka menggunakan istilah civil society tadi. Dengan civil society, secara otomatis akan terbayang kesejahteraan rakyat, karena dalam civil society harus ada unsur saling membantu, termasuk dalam hal bagaimana bisnis juga memberi kemanfaatan kepada rakyat (untuk lebih lengkap, lihat Azizy, Melawan Globalisasi, 125-182).
Optimisme 2008
Perjalanan tahun 2008 harus kita hadapi dengan optimisme (hope, expectation) untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik dari tahun sebelumnya. Modalnya hanya satu, yaitu kemauan yang dilandasi niat dari lubuk hati terdalam yang biasa disebut dengan moral. Jika sudah ada kemauan, di sana ada jalan. Jalan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera dalam negara kesatuan republik Indonesia.
Ini satu-satunya modal kita untuk menghadapi tahun 2009 yang akan ada pemilu dan pemilihan presiden. Dengan demikian, insya Allah peristiwa seperti yang terjadi di Pakistan barubaru ini tidak akan terjadi di Indonesia. Dalam waktu bersamaan, ketika sudah menyadari akan kesalahan atau kelengahan kita selama ini, kita bertobat dan mewujudkan kemauan untuk memperbaiki diri. Dengan begitu, dijamin sudah hampir dipastikan keberhasilannya.
PROF A QODRI AZIZY PHD *
* Penulis buku Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam (Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar