Cari Blog Ini

Pengikut

Laman

Minggu, 13 April 2008

Fitna - Jihad Melawan Demografik

Jum'at, 11 April 2008 07:06 WIB
'Fitna', Melawan Jihad Demografik
Ditulis oleh : Misnati Nayla Puteri, Bergiat di Center for Islam and Women Studies
Akhir-akhir ini, umat Islam di dunia termasuk di Indonesia diresahkan oleh film Fitna besutan politikus ultrakanan Belanda, Geert Wilders. Film berdurasi 16 menit 48 detik itu menuai banyak protes, mulai dari yang menyesalkan saja hingga yang ingin membredelnya, bahkan ada yang hendak memboikot produk-produk Belanda yang beredar di dalam negeri.

Sesungguhnya, respons berlebihan tidak perlu dilakukan. Karena jika kita menonton film itu secara saksama, hampir semua isi film mengandung cacat mendasar.

Kelemahan epistemologis

Secara epistemologis, Fitna tidak punya dasar yang kuat. Bila dilihat dari pembuatannya, Wilders memang seorang yang rajin mencermati dan mengoleksi berbagai kekerasan yang terjadi di dunia Islam. Dari koleksinya itu, ia mengambil adegan-adegan yang dianggap penting dan kemudian disambung sana-sini sehingga menjadi satu alur cerita yang seakan-akan utuh. Namun, ia mendapat protes dari masyarakat Denmark karena kutipan 'kartun nabi' yang dipasang di awal film tidak mendapat izin dari si pembuat kartun. Dari protes ini, kita bisa berkesimpulan bahwa Wilders bukanlah sineas bertanggung jawab yang berkarya di atas prinsip hak dan kewajiban.

Dilihat dari isinya, hampir seluruh ayat Alquran yang dikutip hanya diambil sepotong-sepotong dengan mengabaikan ayat lain dan konteks historis (asbabun nuzul) di mana ayat tersebut diturunkan. Akibatnya, isinya menjadi bias dan ayatnya kehilangan konteks. Dari penempatan gambar, Wilders terkesan memaksakan. Misalnya ia mengutip satu adegan kekerasan yang dilakukan kaum muslim untuk berkesimpulan, Islam agama kekerasan. Padahal, tanpa agama sekalipun kekerasan terjadi di mana-mana. Tetapi, kenapa kekerasan harus dijustifikasi sebagai dari agama? Dalam konteks ini, Wilders salah kaprah.

Di akhir film, Wilders menggambarkan masa depan Belanda yang sungguh mengerikan, kaum muslim Belanda menebar kebencian dan permusuhan, bahkan anak kecilpun siap memotong leher orang-orang Belanda yang homoseksual. Pada level ini, Wilders terlalu berlebihan karena di Timur Tengah sekalipun, yang notabene menjadi sentrum Islam, kaum muslim tidak demikian. Meski masih banyak detail-detail lain yang bisa dikritik, namun secara umum film ini tidak mempunyai dasar epistemologis yang kuat.

Jihad demografik

Film ini tak lebih merupakan 'kekhawatiran' masyarakat Barat terhadap dampak dari percepatan teknologi komunikasi, transportasi, dan globalisasi yaitu gelombang migrant society (masyarakat pendatang) dari masyarakat luar yang secara serempak datang ke Barat. Ilmuwan politik terkemuka AS, Samuel Hunting, misalnya, melukiskan kekhawatirannya dalam buku berjudul Who Are We? The Challenges to America's National Identity (2004). Buku ini secara eksplisit menggambarkan masyarakat AS ketakutan dengan gelombang imigrasi besar-besaran suku Hispanik (Meksiko) dan masyarakat Latin lainnya.

Gelombang besar imigrasi ini mengancam nilai-nilai atau warisan Anglo-Protestant yang menjadi inti 'budaya dan identitas AS'. Itu dianggap mengancam karena nilai-nilai atau budaya suku Hispanik/Latin menurut Huntington tidak kompatibel dengan ide-ide yang ada dalam Anglo-Protestant. Bagi Huntington, there is no Americano dream. There is only the American dream created by an Anglo-Protestant society. Mexican-Americans will share in that dream and in that society only if they dream in English (hlm 256).

Hal yang sama juga terjadi di Eropa. Di Prancis, misalnya, imigran kulit hitam di sana selalu menyita perhatian dan tak jarang menjadi persoalan yang cukup rumit terutama menjelang pemilihan umum. Hal itu mungkin karena politisi Prancis sengaja menggunakan isu (sensitif) tersebut untuk mendongkrak suara mereka. Akibatnya, persoalan imigran di Prancis 'timbul-tenggelam' dan belum terselesaikan dengan baik.

Dalam konteks Fitna, yang menjadi ketakutan Wilders adalah gelombang imigrasi besar-besaran masyarakat muslim ke Eropa, lebih khusus lagi ke Belanda. Sebab, anggapan bahwa Islam sebagai ancaman hingga kini memang masih ada di kalangan Barat. Tetapi, di mana letak ancamannya? Ancaman itu terletak pada perkembangan masyarakat muslim yang luar biasa dahsyat. Dari data yang ada, dalam dua dekade terakhir menunjukkan Islam sebagai the world's fastest-growing faith (agama yang berkembang paling pesat di dunia). Inilah ancaman sesungguhnya.

Sebagian ahli memprediksikan pada 2025 kaum muslim akan melebihi jumlah umat kristiani mencapai 30% penduduk dunia, sedangkan Kristen hanya 25%. Hal itu bisa terjadi karena umat Islam bisa melakukan apa yang disebut jihad demografik yakni pengislaman dunia dilakukan dengan melahirkan anak sebanyak-banyaknya. Para ahli terpana melihat umat Islam yang bisa mempunyai anak-cucu-cicit sampai 240 orang dari satu keturunan, sedangkan di dunia Barat dibutuhkan lima generasi untuk melahirkan keturunan sebanyak 30 orang saja (Spencer, 2003). Ledakan penduduk seperti itu kemudian akan melakukan jihad demografik ke negara-negara Barat.

Oleh karena itu, gelombang imigran itulah yang sesungguhnya menjadi persoalan bagi masyarakat Barat. Namun, perlu ditegaskan ini tidak hanya tertuju pada komunitas muslim an sich, tetapi juga komunitas lain seperti suku Hispanik/Latin di AS, kulit hitam di Prancis, dan mungkin komunitas Asia Timur di belahan dunia lain.

Kepentingan politik

Ketakutan itulah yang kemudian dikemas oleh Wilders untuk mendapatkan simpati dari masyarakat Belanda yang antiimigran. Hemat saya, sesungguhnya Wilders menyadari filmnya kurang solid dan banyak yang ahistoris. Tidak hanya itu, ia juga tahu bahwa semua agama tidak mengajarkan kekerasan, termasuk Islam. Bahkan ia tahu persis hasil survei yang menunjukkan umat Islam yang melakukan tindak kekerasan berkisar 0,9%-1% dari populasi kaum muslim dunia. Wilders bukanlah politikus 'bodoh' yang tidak tahu apa-apa. Bahkan, ia menyadari betul akan kenyataan di atas.

Namun, karena ini untuk kepentingan politik, membuat Fitna bukanlah sesuatu yang tabu apalagi dilarang. Bahkan bisa jadi film ini menjadi kampanye yang paling efektif dan mungkin 'termurah' dari kampanye-kampanye Wilders lainnya. Jika dilihat dari perspektif ini, Wilders cukup jeli dan jenius menggunakan momentum tersebut untuk mengangkat dirinya dalam konstelasi politik di Belanda.

Respons

Atas dasar itulah, respons terhadap Fitna harus hati-hati, perlu tahu konteks, dan tidak usah berlebihan. Jika umat Islam merasa tersinggung dengan film tersebut, silakan protes, namun jangan terjebak pada cara kekerasan yang malah kontraproduktif, apalagi membuat film tandingan dengan menunjukkan kekerasan umat Kristen ataupun Yahudi misalnya.

Sebagai penutup, alih-alih bertujuan menghina Islam dan umat Islam dalam arti yang sesungguhnya, film ini sebenarnya lebih mengekspresikan kekhawatiran terhadap jihad demografik umat Islam. Jika ini benar, maka umat Islam patut bersimpati pada Wilders, karena ia telah mengingatkan umat Islam agar tidak menjadi ancaman bagi yang lain. Untuk itu, kaum muslim perlu memperbaiki diri menjadi lebih sejuk dan damai karena memang itulah semangat Islam yang sesungguhnya.

Tidak ada komentar: