Cari Blog Ini

Pengikut

Laman

Selasa, 25 Desember 2007

Benarkah Usaha Kecil Semakin Terkucil?


ANALISIS
Benarkah Usaha Kecil Semakin Terkucil?

Rabu, 26/12/2007

PEMBICARAAN tentang usaha kecil tidak pernah sepi. Bahkan, belakangan ada semacam kesan,kalau kita tidak membicarakannya, seakan-akan kita tidak memiliki rasa kepahlawanan, rasa kesetiakawanan, atau rasa keberpihakan pada yang lemah.
Pokoknya, kita bicarakan, dan bila perlu membuat program untuk usaha kecil, karena dengannya kita akan dianggap prokeadilan dan pemerataan. Di satu sisi, kondisi ini menguntungkan karena banyak pihak terlibat untuk memikirkan dan mencari upaya membantu permasalahan yang dihadapi usaha kecil.Tetapi di sisi lain, yang terjadi justru hal yang tidak kita harapkan, seperti program yang tumpang tindih, koordinasi yang tidak jelas, saling lempar tanggung jawab––dan yang paling menyakitkan–– dalih membina usaha kecil hanya digunakan untuk mendapat jatah anggaran.
Hampir semua pihak sepakat,usaha kecil cenderung lebih padat karya,sehingga bila usaha ini berkembang luas,penyerapan tenaga kerja akan lebih besar.Usaha ini juga tersebar luas sehingga memiliki efek pemerataan yang lebih baik. Selain itu, usaha kecil merupakan arena berlatih kewirausahaan yang baik. Kalau kita mau jujur, sebenarnya sudah banyak sekali kebijakan yang terkait dengan usaha kecil, atau yang sekarang disatukan dalam kategori usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Yang terakhir, bahkan merupakan bagian dari Inpres 6/2007 tentang Kebijakan Percepatan Pembangunan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yang diluncurkan Juni 2007. Pemberdayaan UMKM dalam inpres tersebut meliputi tindakan dalam empat bidang, yaitu peningkatan akses UMKM pada sumber pembiayaan, pengembangan kewirausahaan dan sumber daya manusia, peningkatan peluang pasar produk UMKM,dan reformasi regulasi. Di tengah-tengah upaya percepatan pemberdayaan ini, tiba-tiba data yang dirilis lembaga resmi dan temuan di lapangan menunjukkan kecenderungan yang berlawanan.
Sebagai contoh, Bank Indonesia melaporkan bahwa porsi kredit UMKM turun, dari 52,75% (September 2006) ke 51,7% (September 2007) dari total kredit perbankan. Kredit untuk UMKM terdiri atas kredit mikro (di bawah Rp50 juta), kredit kecil (Rp50 juta sampai Rp500 juta) dan kredit menengah (Rp500 juta hingga Rp5 miliar). Demikian pula kredit yang disalurkan melalui penjaminan yang dilakukan PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dan Perum Sarana Pengembangan Usaha (SPU), yang besarnya sekitar Rp145 triliun, belum tersalurkan dengan baik.
Para pelaku usaha masih banyak yang tidak memiliki informasi tentang hal ini. Kemudian, hasil evaluasi Inpres 6/2007 menunjukkan, pencapaian program sertifikasi tanah untuk membantu UMKM memiliki akses ke lembaga pembiayaan,yang pada 2006 mencapai 33,29% dari target, pada 2007 justru turun ke 0,26%. Suatu penurunan yang luar biasa. Berita dari lapangan yang diperoleh melalui survei dan observasi justru lebih mengagetkan.
Misalnya, sekitar 70% dari pengusaha sentra industri kecil menyatakan sedang menghadapi penurunan permintaan. Membanjirnya berbagai produk impor tampaknya memperkuat keluhan ini.Sementara itu, sekitar 85% pusat inkubator bisnis dan Business Development Service (BDS) yang ada tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dari segi kemudahan regulasi, upaya berbagai daerah untuk mempermudah perizinan melalui onestop service (OSS) atau pelayanan terpadu satu pintu (PTSP),yang telah diperkuat dengan Permendagri 24/2006, tampaknya juga belum menunjukkan hasil maksimal.
Di banyak daerah, sejumlah instansi masih belum merelakan kewenangannya berpindah tangan,karena dianggap mengurangi pendapatan sampingan.Tidak jarang, meski prosedur dipermudah dan berbiaya lebih rendah, muncul percaloan yang mengakibatkan biaya nyata yang dibayarkan tidak berubah. Meski dulu Ernest Schumacher (1973) menulis small is beautiful ’kecil itu indah’, dalam kenyataan yang terjadi sebaliknya, atau lebih sering small is painful ’kecil itu menyakitkan’ dan big is powerful ’besar itu tangguh’.
Usaha besar memang unggul dalam sumber daya dan mampu menekan biaya per unit kegiatan karena memiliki skala ekonomi (economies of scale) baik dari sisi input maupun output. Keunggulan usaha kecil biasanya lahir dari kelenturan (fleksibilitas) dan kemampuan bergerak pada celah usaha yang terlalu mahal untuk dimasuki usaha besar. Kekalahan dalam hal skala usaha dari usaha besar juga bisa diimbangi apabila usaha kecil membangun jaringan kerja sama dengan spesialisasi yang saling melengkapi. Fenomena ini oleh Hubert Schmitz (1999), seorang ahli ekonomi klaster,disebut sebagai efisiensi kolektif (collective efficiency).
Bila dalam kenyataan usaha kecil sulit berkembang, itu indikasi dari kelenturan yang menurun dan semakin sulitnya kerja sama antarpelaku usaha dibangun.Kelenturan turun bisa karena pilihan-pilihan yang ada semakin terbatas, bisa pula karena biaya berusaha (cost of doing business) menjadi semakin tinggi.Kerja sama sulit karena modal sosial di tengah masyarakat rendah, atau kadar kecurigaan antarpelaku usaha masih tinggi. Dengan demikian, upaya mengembangkan usaha kecil merupakan pekerjaan besar, kompleks, rumit, dan harus dilakukan sepenuh hati. Dibutuhkan, komitmen dan konsistensi kebijakan untuk waktu yang panjang. Bila tidak, usaha kecil bukan dibina melainkan ”dibinasakan”. Bukan menguat, melainkan ”mengkhawatirkan”.(*)
PROF HENDRAWAN SUPRATIKNO PHD* * Penulis, Direktur Pascasarjana dan Program Doktor, IBII, Jakarta

Tidak ada komentar: