Cari Blog Ini

Pengikut

Laman

Minggu, 13 April 2008

Fitna - Jihad Melawan Demografik

Jum'at, 11 April 2008 07:06 WIB
'Fitna', Melawan Jihad Demografik
Ditulis oleh : Misnati Nayla Puteri, Bergiat di Center for Islam and Women Studies
Akhir-akhir ini, umat Islam di dunia termasuk di Indonesia diresahkan oleh film Fitna besutan politikus ultrakanan Belanda, Geert Wilders. Film berdurasi 16 menit 48 detik itu menuai banyak protes, mulai dari yang menyesalkan saja hingga yang ingin membredelnya, bahkan ada yang hendak memboikot produk-produk Belanda yang beredar di dalam negeri.

Sesungguhnya, respons berlebihan tidak perlu dilakukan. Karena jika kita menonton film itu secara saksama, hampir semua isi film mengandung cacat mendasar.

Kelemahan epistemologis

Secara epistemologis, Fitna tidak punya dasar yang kuat. Bila dilihat dari pembuatannya, Wilders memang seorang yang rajin mencermati dan mengoleksi berbagai kekerasan yang terjadi di dunia Islam. Dari koleksinya itu, ia mengambil adegan-adegan yang dianggap penting dan kemudian disambung sana-sini sehingga menjadi satu alur cerita yang seakan-akan utuh. Namun, ia mendapat protes dari masyarakat Denmark karena kutipan 'kartun nabi' yang dipasang di awal film tidak mendapat izin dari si pembuat kartun. Dari protes ini, kita bisa berkesimpulan bahwa Wilders bukanlah sineas bertanggung jawab yang berkarya di atas prinsip hak dan kewajiban.

Dilihat dari isinya, hampir seluruh ayat Alquran yang dikutip hanya diambil sepotong-sepotong dengan mengabaikan ayat lain dan konteks historis (asbabun nuzul) di mana ayat tersebut diturunkan. Akibatnya, isinya menjadi bias dan ayatnya kehilangan konteks. Dari penempatan gambar, Wilders terkesan memaksakan. Misalnya ia mengutip satu adegan kekerasan yang dilakukan kaum muslim untuk berkesimpulan, Islam agama kekerasan. Padahal, tanpa agama sekalipun kekerasan terjadi di mana-mana. Tetapi, kenapa kekerasan harus dijustifikasi sebagai dari agama? Dalam konteks ini, Wilders salah kaprah.

Di akhir film, Wilders menggambarkan masa depan Belanda yang sungguh mengerikan, kaum muslim Belanda menebar kebencian dan permusuhan, bahkan anak kecilpun siap memotong leher orang-orang Belanda yang homoseksual. Pada level ini, Wilders terlalu berlebihan karena di Timur Tengah sekalipun, yang notabene menjadi sentrum Islam, kaum muslim tidak demikian. Meski masih banyak detail-detail lain yang bisa dikritik, namun secara umum film ini tidak mempunyai dasar epistemologis yang kuat.

Jihad demografik

Film ini tak lebih merupakan 'kekhawatiran' masyarakat Barat terhadap dampak dari percepatan teknologi komunikasi, transportasi, dan globalisasi yaitu gelombang migrant society (masyarakat pendatang) dari masyarakat luar yang secara serempak datang ke Barat. Ilmuwan politik terkemuka AS, Samuel Hunting, misalnya, melukiskan kekhawatirannya dalam buku berjudul Who Are We? The Challenges to America's National Identity (2004). Buku ini secara eksplisit menggambarkan masyarakat AS ketakutan dengan gelombang imigrasi besar-besaran suku Hispanik (Meksiko) dan masyarakat Latin lainnya.

Gelombang besar imigrasi ini mengancam nilai-nilai atau warisan Anglo-Protestant yang menjadi inti 'budaya dan identitas AS'. Itu dianggap mengancam karena nilai-nilai atau budaya suku Hispanik/Latin menurut Huntington tidak kompatibel dengan ide-ide yang ada dalam Anglo-Protestant. Bagi Huntington, there is no Americano dream. There is only the American dream created by an Anglo-Protestant society. Mexican-Americans will share in that dream and in that society only if they dream in English (hlm 256).

Hal yang sama juga terjadi di Eropa. Di Prancis, misalnya, imigran kulit hitam di sana selalu menyita perhatian dan tak jarang menjadi persoalan yang cukup rumit terutama menjelang pemilihan umum. Hal itu mungkin karena politisi Prancis sengaja menggunakan isu (sensitif) tersebut untuk mendongkrak suara mereka. Akibatnya, persoalan imigran di Prancis 'timbul-tenggelam' dan belum terselesaikan dengan baik.

Dalam konteks Fitna, yang menjadi ketakutan Wilders adalah gelombang imigrasi besar-besaran masyarakat muslim ke Eropa, lebih khusus lagi ke Belanda. Sebab, anggapan bahwa Islam sebagai ancaman hingga kini memang masih ada di kalangan Barat. Tetapi, di mana letak ancamannya? Ancaman itu terletak pada perkembangan masyarakat muslim yang luar biasa dahsyat. Dari data yang ada, dalam dua dekade terakhir menunjukkan Islam sebagai the world's fastest-growing faith (agama yang berkembang paling pesat di dunia). Inilah ancaman sesungguhnya.

Sebagian ahli memprediksikan pada 2025 kaum muslim akan melebihi jumlah umat kristiani mencapai 30% penduduk dunia, sedangkan Kristen hanya 25%. Hal itu bisa terjadi karena umat Islam bisa melakukan apa yang disebut jihad demografik yakni pengislaman dunia dilakukan dengan melahirkan anak sebanyak-banyaknya. Para ahli terpana melihat umat Islam yang bisa mempunyai anak-cucu-cicit sampai 240 orang dari satu keturunan, sedangkan di dunia Barat dibutuhkan lima generasi untuk melahirkan keturunan sebanyak 30 orang saja (Spencer, 2003). Ledakan penduduk seperti itu kemudian akan melakukan jihad demografik ke negara-negara Barat.

Oleh karena itu, gelombang imigran itulah yang sesungguhnya menjadi persoalan bagi masyarakat Barat. Namun, perlu ditegaskan ini tidak hanya tertuju pada komunitas muslim an sich, tetapi juga komunitas lain seperti suku Hispanik/Latin di AS, kulit hitam di Prancis, dan mungkin komunitas Asia Timur di belahan dunia lain.

Kepentingan politik

Ketakutan itulah yang kemudian dikemas oleh Wilders untuk mendapatkan simpati dari masyarakat Belanda yang antiimigran. Hemat saya, sesungguhnya Wilders menyadari filmnya kurang solid dan banyak yang ahistoris. Tidak hanya itu, ia juga tahu bahwa semua agama tidak mengajarkan kekerasan, termasuk Islam. Bahkan ia tahu persis hasil survei yang menunjukkan umat Islam yang melakukan tindak kekerasan berkisar 0,9%-1% dari populasi kaum muslim dunia. Wilders bukanlah politikus 'bodoh' yang tidak tahu apa-apa. Bahkan, ia menyadari betul akan kenyataan di atas.

Namun, karena ini untuk kepentingan politik, membuat Fitna bukanlah sesuatu yang tabu apalagi dilarang. Bahkan bisa jadi film ini menjadi kampanye yang paling efektif dan mungkin 'termurah' dari kampanye-kampanye Wilders lainnya. Jika dilihat dari perspektif ini, Wilders cukup jeli dan jenius menggunakan momentum tersebut untuk mengangkat dirinya dalam konstelasi politik di Belanda.

Respons

Atas dasar itulah, respons terhadap Fitna harus hati-hati, perlu tahu konteks, dan tidak usah berlebihan. Jika umat Islam merasa tersinggung dengan film tersebut, silakan protes, namun jangan terjebak pada cara kekerasan yang malah kontraproduktif, apalagi membuat film tandingan dengan menunjukkan kekerasan umat Kristen ataupun Yahudi misalnya.

Sebagai penutup, alih-alih bertujuan menghina Islam dan umat Islam dalam arti yang sesungguhnya, film ini sebenarnya lebih mengekspresikan kekhawatiran terhadap jihad demografik umat Islam. Jika ini benar, maka umat Islam patut bersimpati pada Wilders, karena ia telah mengingatkan umat Islam agar tidak menjadi ancaman bagi yang lain. Untuk itu, kaum muslim perlu memperbaiki diri menjadi lebih sejuk dan damai karena memang itulah semangat Islam yang sesungguhnya.

Agama dan Prinsip Teodisia

Jum'at, 11 April 2008 07:07 WIB
Agama dan Prinsip Teodisia
Ditulis oleh : Miming Ismail, Pegiat Sastra dan Filsafat Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Paramadina Jakarta
Agama pada mulanya dimulai dengan hening, sunyi, dan senyap demikian kata esais Goenawan Mohammad. Metafora itu dalam beberapa hal mungkin benar, tapi sekaligus keliru. Ia mungkin benar, sejauh metafora hening, sunyi, dan senyap secara intrinsik melekat dalam semangat teodisia (ketertujuan). Karena itu, spirit dasarnya merujuk pada situasi batin maupun pikiran yang penuh dengan nuansa ketenangan tanpa konflik dan ketegangan. Ia keliru bila seakan agama lepas dari realitas dunia aktual yang meniscayakan kontaminasi, kontradiksi, dan alienasi di dalamnya. Karena itu, spirit dasar agama juga riuh dengan semangat pembebasan demi ketertujuan itu sendiri.

Namun menurut filsuf idealis Hegel, agama atau iman pada mulanya adalah semesta roh atau spirit yang terbelah, penuh tegangan, oposisi, dan negasi. Bila bertolak dari pengandaian dialektis macam itu barangkali metafora yang identik dengan agama adalah riuh dan mungkin situasi batin yang gaduh, bukan hening, senyap, dan sunyi tadi.

Sejak awal, agama atau iman selalu sudah hadir berhadapan dengan pikiran murni (pure insight), keduanya muncul dari kesadaran murni yang terbelah, meniscayakan kontradiksi dan oposisi (konflik dan ketegangan) baik batiniah maupun di luar yang batiniah. Dalam situasi macam itulah agama yang melekat pada iman sebenarnya memiliki keriuhan sekaligus pergulatan penuh liku dalam realitas dunia aktual.

Bukan hening, melainkan riuh

Bila menengok dalam sejarah atau mitos mengenai munculnya agama-agama di dunia--sejak mitos turunnya Adam ke bumi--pada mulanya agama merupakan suatu realitas dunia aktual yang semula gelisah dengan segala riuh hasrat, perasaan, prasangka, dan habitus lainnya yang saling silang dalam konteks dialektika kebudayaan. Karena itu momen negatifitas adalah titik tolak pergulatan nilai dalam agama dan kebudayaan itu sendiri. Hingga dalam batas tertentu mengalami perkembangan dirinya ke arah yang lebih rasional.

Karena itu, kondisi-kondisi ketegangan alamiah merupakan hal yang niscaya dalam proses pembentukan sejarah kultur dan agama. Proses determinasi berlangsung dalam proses penemuan diri subjek dalam sejarah. Sebab itu, iman merupakan bentuk dari realitas yang selalu terbelah saling beroposisi dengan kesadaran atau pikiran murni yang melekat pada subjek bernama manusia.

Dari situlah titik keterasingan bermula, yang dalam definisi sosiolog Berger, dilihat sebagai momen objektifikasi manusia dari realitas subjektifnya ke dalam realitas objektif, yaitu ke dalam iman atau agama sebagai bagian dari entitas dunia aktual. Dalam tahap atau momen objektifikasi itu manusia terasing dari dunia kesadarannya.

Tahap-tahap objektifikasi dan subjektifikasi itu kemudian saling bermediasi ke dalam momen rekonsiliasi dengan agama mengalami rasionalisasi dirinya dengan unsur-unsur subjektif dalam diri manusia sehingga secara dialektis kebudayaan menghasilkan produk-produk hukum baru dalam setiap tahapnya. Meski tak dapat dipungkiri bahwa dalam setiap inci dan tahapan momennya selalu ada ketegangan sekaligus kontradiksi di dalamnya.

Keriuhan atau kegaduhan agama juga tecermin ketika ia berdiri dan berelasi dengan realitas dunia aktual yaitu ketika agama atau ajaran keagamaan berhadapan langsung degan dunia material, seperti problem ketidakadilan, kesetaraan, dan problematika lainnya yang bersifat sekuler (duniawi). Sebagaimana muncul dalam 'yang politis' yang problem utamanya selalu berkutat pada persoalan injustice, seperti ketidakbebasan, ketidaksetaraan, dan hilangnya persahabatan, padahal pada mulanya yang politis itu bertolak dari semangat dasar liberty, equality, and fraternity.

Agama dan Teodisia

Tiga problematika itulah yang selalu mengisi keresahan teologis di tengah keheningan agama yang dibayangkan di atas. Karena itu, agama dalam arti tertentu juga memiliki semangat yang utopis yaitu semangat teodisia atau semangat ke-ter-tujuan akan penyelenggaraan yang ilahiah, sebagaimana pernah dimaklumatkan Ernest Bloch, dalam The Prinsiple of Hope.

Semangat ke-ter-tujuan dalam agama itu muncul ketika problem krusial dalam konteks yang politis atau tatanan sosial politik tadi tidak selalu berjalan sempurna sebagaimana dibayangkan pikiran. Karena itu agama memiliki karakter dasar semangat pengharapan akan ke-ter-tujuan manusia pada masa depan dunia kehidupan yang penuh keadilan dan kesetaraan yang bertolak dari keadilan ilahiah. Sebab watak dasar dari realitas atau konsep yang politis di atas itu selalu terbatas.

Dalam konteks ini, agama setidaknya menyelipkan janji kesempurnaan tentang ideal dunia sana yang penuh keadilan, kebebasan, dan semangat persahabatan abadi. Karena bertolak dari keyakinan dasar bahwa problem paling purba, seperti kesenjangan, ketidakbebasan dan masalah injustice lainnya itu akan selalu menjadi problem abadi di dunia ini. Karena itu, agama memberi ruang pengharapan baru dengan menawarkan segala sesuatu yang tidak akan terwujud dan tak terselesaikan di dunia ini, sebagaimana muncul dalam doktrin penebusan dan pembalasan.

Orang miskin, penderita busung lapar, dan manusia lainnya yang tak beruntung di dunia ini, entah karena problem struktural maupun kultural, boleh jadi masih bisa berharap dalam utopianisme angin surga agama yang ditiupkan sebagai pengharapan akan datangnya hari mendatang.

Anggapan itu boleh jadi naif karena menganggap seluruh tatanan kosmisnya memiliki garis atau suratan takdir yang dengan itu seakan masalah di dunia ini mungkin terselesaikan di suatu masa ketika hari penebusan itu datang. Tapi, realitas menunjukkan doktrin pengharapan akan menjadi relevan ketika justru deru kemajuan yang dicapai oleh teknologi kini memperlihatkan problem ketimpangan, manipulasi, dan semakin kontrasnya batas rasionalitas manusia. Dengan seluruh problem eksploitasi, kesenjangan, dan problem injustice lainnya yang hingga kini masih abadi menjadi persoalan dunia pada umumnya. Meski tentu saja dalam arti tertentu agama tidak mengajarkan sikap fatalis pada setiap individu dalam konteks ini.

Doktrin pengharapan itu menjadi satu-satunya tempat berlindung ketika manusia mengalami dan mengenal batas, multiplisitas yang hadir dalam realitas, dan dari ketiadaan harapan akan terpenuhinya janji keadilan di dunia itulah, prinsip pengharapan menjadi semacam keyakinan akan teodisia.

Bayangkan saja bila di dunia ini sekitar 80 juta jiwa dengan seluruh kerja keras dan usahanya masih saja jatuh dalam kemiskinan akut, bahkan sebagian lainnya jatuh dalam kemiskinan yang ekstrem, sebagaimana ditegaskan Jeffrey Sach. Sementara itu, di tempat lainnya, ada sebagian orang yang tidak perlu bekerja keras, namun masih dapat memenuhi kebutuhan bahkan menghamburkannya dalam gelimang kemewahan.

Di mana letak keadilan di sini? Bukankah tatanan sosial politik yang demokratis semula diniatkan untuk merealisasikan cita-cita keadilan, kesetaraan, dan persahabatan. Tapi mengapa keadilan tak kunjung datang bagi mereka yang lemah?

Lalu, mengapa problem ketidakbebasan, ketidaksetaraan, dan ketidakadilan muncul dalam semangat kawan dan lawan, bukan sebaliknya mendasarkan pada semangat fraternity?

Dalam konteks inilah yang politis sebagai tatanan dunia memiliki batas realisasi dirinya. Barang kali dalam konteks inilah agama hadir mengisi kekosongan itu. Meski kadang batas antara yang telos dan yang politis tak pernah tegas karena keduanya tak pernah berdiri di ruang senyap.

Tapi dalam situasi keterbatasan itulah, agama sesungguhnya hadir menjadi semacam katalog dari problematika dunia yang tak terselesaikan sepenuhnya. Karena itu, dalam arti tertentu, semangat pengharapan dalam agama juga menyiratkan semangat pembebasan dalam tradisi agama-agama yang mulanya memang riuh dengan segala gaduh yang diciptakan dunia.

Sabtu, 12 April 2008

Planet Terkecil Mirip Bumi Ditemukan Di RAsi Leo

Planet Terkecil Mirip Bumi Ditemukan di Rasi Leo


Perbandingan ukuran Planet GJ 436c dengan Bumi. Planet tersebut merupakan planet ekstrasolar terkecil.
Artikel Terkait:
Planet Termuda Berusia 1600 Tahun
Kembaran Bumi Mungkin Ada di Alpha Centauri
Astronom Temukan Tata Surya Baru dengan Dua Planet
Astronom Indonesia Temukan Planet Termuda

kcm, Kamis, 10 April 2008 | 20:36 WIB
JAKARTA, KAMIS - Tim ilmuwan Spanyol dan Inggris menemukan sebuah planet padat di rasi bintang Leo. Ukuran sedikit lebih besar daripada Bumi dan mungkin planet terkecil yang pernah ditemukan di luar tata surya.

Jari-jarinya diperkirakan sekitar 1,5 kali Bumi. Meski demikian, massanya lima kali lipat Bumi. Sehari di sana atau sekali rotasi setara dengan tiga minggu di Bumi. Planet tersebut berada 30 tahun cahaya dari Bumi.

Hasil simulasi menunjukkan planet yang diberi nama GJ 436c ini mengorbit bintang GJ 436 hanya dalam waktu 5,2 hari dan berotasi dalam 4,2 hari Bumi. Bandingkan dengan berevolusi 365 hari namun berotasi 24 jam. Karena waktu rotasi dan revolusi planet tersebut tidak terpaut jauh, satu hari di sana atau waktu antara siang dan malam tidak tergantung waktu rotasinya, namun hingga 22 hari.

"Ini merupakan planet super-Bumi keempat yang ditemukan," ujar Dr Jean-Phillippe Beaulieu, pakar astrofisika dari University College London Inggris, salah satu peneliti yang melaporkan temuannya itu dalam Astrophysical Journal Letters edisi terbaru. Sebuah planet disebut super-Bumi jika memiliki massa antara satu hingga 10 kali lipat massa Bumi.

Meski demikian, keumngkinan adanya kehidupan di sana seperti di Bumi belum dapat dipastikan. Suhu di permukannya berkisar 127-427 derajat Celcius, namun ada kemungkinan turun hingga 77 derajat Celcius di kutubnya.

Planet tersebut diperkirakan sebagai kembaran planet super-Bumi lainnya, OGLE-2005-BLG-390lb yang ditemukan dengan teknik lensa gravitasi dua tahun lalu. Planet serupa Bumi lainnya adalah Gliese 581b dan Gliese 876d.

Sejauh ini, setidaknya sudah 280 planet ekstrasolar, di luar tata surya, yang telah ditemukan di alam semesta. Kebanyakan merupakan planet gas seperti Jupiter sehingga temuan planet padat termasuk mengejutkan.

Dengan keberhasilan ini, Iganis Ribas, peneliti lembaga riset Spanyol CSIC yang memimpin pencarian planet-planet ekstrasolar yakin dapat menemukan planet yang benar-benar mirip Bumi baik ukuran maupun massanya dalam 10 tahun.(PHYSORG/WAH)


WAH

Rabu, 02 Januari 2008

Kerusuhan Kenya



Kerusuhan Kenya
50 Orang Dibakar Hidup-hidup dalam Gereja


NAIROBI, RABU — Lebih dari 50 orang dibakar hidup-hidup di sebuah gereja di Eldoret, Selasa (1/1). Ini menjadi insiden terburuk dari rangkaian aksi kekerasan terkait pemilu yang baru lalu.

Para korban adalah anggota etnis Kikuyus yang berlindung dari kejaran gerombolan orang bersenjata. Mereka yang berhasil lolos dari gedung gereja diburu dan dibantai menggunakan pedang. Sejumlah orang bisa lolos setelah bersembunyi di lubang kakus.

George Karanja, (39) warga Kikuyus yang berhasil menyelamatkan diri mengungkapkan, ia bersama sekitar 2.000 orang mengungsi ke gedung Majelis Gereja Tuhan di Edoret Senin (31/12) malam. Mereka mengungsi karena rumah mereka habis dibakar.

Namun Selasa pagi, ketika sebagian pengungsi masih tidur dan sebagian lagi mandi, gerombolan itu mulai menyerbu. Mereka membakar matras yang digunakan orang-orang itu untuk tidur. Karanja sendiri bisa selamat setelah bersembuyi di lubang kakus. Ia juga bisa menyelamatkan sedikitnya 10 orang. Dalam insiden itu ia kehilangan ayah dan keponakan.

Sejumlah regu penolong yang datang pertama kali dihadang gerombolan itu dan diselidiki identitasnya. Gerombolan itu mencari orang-orang dari etnis Kikuyus, suku asal Presiden Mwai Kibaki.

Suku Kikuyus, karena terkait presiden, dituduh memonopoli kekuasaan dan ekonomi oleh 41 kepala suku lain. Tuduhan itu selalu didengungkan pemimpin oposisi Raila Odinga yang berasal dari Suku Luo.(AP/AFP/SAS)

Mitos Sekitar Pernikahan



Banyak pasangan yang ’maju-mundur’ sebelum menikah karena takut pada mitos-mitos tentang pernikahan. Mana yang harus dipercaya ya..

Terpenjara
Pernah dengar nasehat seperti ini ? ’Selama masih melajang, puas-puasin dulu, nanti kalau sudah menikah susah’.

Seolah dengan memasuki gerbang pernikahan, kehidupan Anda sebagai pribadi akan tamat pula. Rasanya Anda akan menikah, bukan akan masuk penjara ya ?

Memang banyak cerita tentang mimpi-mimpi para perempuan lajang yang terkubur begitu mereka menikah. Tapi tak sedikit pula kok perempuan yang lebih sukses dalam hidup setelah berkeluarga. Atau malah ada yang kehidupannya nyaris tak berubah, sama seperti ketika melajang.

Karier mentok

Pernikahan akan membatasi perkembangan karir seseorang. Peluang kerja banyak yang tertutup bila perempuan sudah menikah. Banyak yang diminta mengundurkan diri bila berkeluarga. Atau susah mendapat promosi karena waktu Anda akan banyak terserap untuk keluarga.

Ah, ini sih tergantung Anda. Bila Anda memang terbukti bisa diandalkan dan memiliki kemampuan, Anda pasti bisa kok mengatasinya.

Takut punya anak

Ada banyak alasan mengapa seseorang takut memiliki keturunan. Bisa karena prosesnya yang memang berat itu. Khawatir tidak bisa memberikan kehidupan yang layak pada sang anak atau takut tidak bisa menjadi orangtua yang baik.

Atau mungkin ketakutan yang lebih ’sepele’ seperti takut tubuh melar sebagai akibat melahirkan ? Tenang, Anda masih punya banyak waktu. Kehidupan memiliki cerita sendiri dalam setiap prosesnya. Siapa tahu, Anda justru menikmati tahapan ini dan menjalaninya dengan sukses.

Orang berubah

Ketika masih pacaran dia so sweet. Tapi bagaimana nanti kalau kami sudah menikah ya ? Begitu kekhawatiran Anda. Apalagi banyak contoh-contoh tentang itu.

Ini pada gilirannya mempengaruhi minat Anda untuk menikah. Iya kalau pilihan benar. Kalau ternyata salah bagaimana ?

Well, semuanya pasti berubah. Tak ada yang konstan, kecuali perubahan itu sendiri bukan ? Dalam perjalanan nanti Anda sendiri juga pasti akan berubah dan tentu akan ada upaya-upaya untuk menyesuaikan diri dengan perubahan itu. Tapi minimal Anda pernah mencobanya atau Anda mau penasaran selamanya ? (KCM: Chic)

Kurang Tidur Picu Hadirnya Diabetes



Kurang Tidur Picu Hadirnya Diabetes

KCM, Chicago, Senin - Tidur yang cukup dan teratur setiap hari memang resep paling mujarab dalam menjaga kesehatan. Dengan tidur cukup, tubuh dapat memulihkan diri dari rasa capek. Organ-organ tubuh pun menjadi rileks dan beristirahat sehingga menetralkan kerusakan yang terjadi akibat kegiatan sehari-hari.

Apa yang akan terjadi bila kita kekurangan tidur? Tubuh tentu akan terganggu keseimbangannya, termasuk fungsi metabolisme. Hasil riset terbaru membuktikan, tiga hari Anda mengalami kurang tidur, kemampuan tubuh dalam memproses glukosa akan menurun secara drastis, sehingga dapat meningkatkan risiko mengidap diabetes.

Adalah para ahli dari University of Chicago yang berhasil mengungkap temuan ini. Menurut mereka, tidur tidak nyenyak selama tiga hari berturut-turut akan menurunkan toleransi tubuh terhadap glukosa, khususnya pada orang muda dan dewasa.

Dari riset juga disimpulkan, walaupun kemampuan tubuh memproses glukosa dapat menyesuaikan diri saat gangguan tidur kronis, tetapi buruknya pola tidur pada orang dewasa serta pengidap obesitas dapat memicu hadirnya diabetes.

Tidur lelap atau “slow wave sleep,” merupakan jenis tidur yang paling restoratif dan telah terbukti sangat penting bagi kesehatan mental. Riset para ahli di University of Chicago ini merupakan bukti signifikan pertama pentingnya tidur lelap terhadap fisik.

“Penelitian sebelumnya dari laboratorium telah menunjukkan beragam hubungan antara gangguan tidur kronis maupun parsial, perubahan nafsu makan, ketidaknormalan metabolime, obesitas, dan risiko diabetes," ungkap Eve Van Cauter yang mempublikasikan temuannya dalam Proceedings of the National Academy of Sciences edisi Rabu mendatang ini.

Riset ini melibatkan sembilan responden bertubuh sehat berusia 20 hingga 31 tahun. Mereka harus menginap selama lima malam di laboratorium dan mulai tidur pukul 11 malam kemudian bangun pada pukul 7.30 pagi.

Pada dua malam pertama, respoden dibiarkan tidur nyenyak. Namun memasuki hari ketiga, kamar mereka dipasangi speaker yang memperdengarkan suara-suara rendah. Suara ini diperdengarkan ketika pola otak para responden mengindikasikan mereka sedang memasuki fase tidur nyenyak.

Walaupun terdengar pelan dan tak cukup keras untuk membangunkan mereka, suara rendah ini mengurangi kualitas tidur lelap mereka hingga sekitar 90 persen. Suara ini rupanya membawa mereka kembali dari fase tidur nyenyak ke fase tidur ringan.

Pola tidur tipikal setiap reponden selama riset ini pun berbeda. Untuk responden usia di atas 60 tahun, secara umum hanya mengalami fase tidur nyenyak selama 20 menit saja, sedangkan pada orang dewasa 80 hingga 100 menit.

Dalam pengujian di laboratorium, sensitivitas insulin para responden menurun hingga 25 persen setelah tidurnya terganggu. Artinya, mereka membutuhkan lebih banyak insulin untuk mengatur kadar glukosa yang sama. Meskipun ekresi insulin tidak mengalami peningkatan pada delapan responden, mereka mengalami kenaikan kadar glukosa dalam darah sebanyak 23 persen.

“Riset ini merekomendasikan bahwa strategi dalam memperbaiki kualitas serta kuantitas tidur dapat mencegah atau menunda timbulnya diabetes tipe 2 pada populasi yang berisiko,” tandas Van Cauter. (AFP/ac)

Libigel - Viagra Untuk Wanita




Libigel, Viagra untuk Wanita

Charlottesville, Selasa - Bukan rahasia lagi bahwa sekarang banyak kaum pria yang membutuhkan bantuan obat-obatan untuk memperbaiki kemampuan seksualnya. Obat-obatan seperti Viagra atau Vasomax misalnya, kini banyak digandrungi karena khasiat serta kepraktisannya.

Pada perkembangannya, obat-obatan untuk memperbaiki fungsi seksual tak sebatas untuk kebutuhan kaum Adam semata. Kini, para ahli pun tengah berupaya untuk mengembangkan obat-oabtan yang dapat memperbaiki fungsi seksual kaum wanita.

Seperti dilaporkan AP, Selasa (1/1), para peneliti di Universitas Virginia (UVa) Amerika Serikat kini sedang menguji coba sejenis obat yang berfungsi memperbaiki kemampuan seksual seperti halnya Viagra pada pria.

Obat baru ini bernama LibiGel, berbentuk gel dengan kandungan utama testosteron. Para ahli menciptakan obat ini guna meningkatkan rangsangan atau libido pada wanita yang kehilangan gairah dalam berhubungan seks.

Dalam beberapa bulan ke depan, Libigel akan direkomendasikan bagi wanita penderita kehilangan gairah yang disebut hypoactive sexual desire disorder . Menurut catatan, gangguan seks ini dialami oleh hampir sepertiga kaum Hawa di Amerika Serikat.

"Gangguan ini merupakan masalah seksual yang banyak dialami wanita," ungkap Dr. Anita Clayton, seorang psikiatris dari UVa Health System dan penulis buku "Satisfaction: Women, Sex and the Quest for Intimacy."

Universitas Virginia sendiri bersama 99 institusi medis lainnya berpartisipasi dalam pengujian khasiat serta keamanan obat ini. Jika mendapat lampu hijau dari FDA (Food and Drug Administration), perusahaan BioSante Pharmaceuticals Inc di Illinois akan segera melempar obat ini ke pasaran.

Untuk saat ini, kata Clayton, pihaknya masih menggelar riset nasional yang melibatkan sekitar 25 wanita berusia 30 dan 65. Para wanita ini adalah mereka yang telah kehilangan kedua ovarium (indung telur) melalui proses operasi ovariektomi. Mereka sejauh ini hanya mengonsumsi suplemen estrogen dan mengalami stress akibat rendahnya libido.

Ovariektomi memang dapat mengakibatkan gairah seksual menurun karena indung telur hanya memproduksi hormon testosteron dalam jumlah setengah dari biasanya. Padahal, testosteron pun memegang peranan penting dalam fungsi seksual pada tubuh wanita.

LibiGel sendiri rencananya akan dipasarkan dalam bentuk botol yang dipompa. Wanita hanya tinggal memakainya sedikit saja dan mengoleskannya pada lengan bagian atas.

Dalam 24 jam, gel ini akan menyerap dalam pembuluh darah untuk kemudian memicu energi dan gairah (libido) wanita. Clayton, yang juga terlibat dalam riset di UVa, mengatakan obat ini lebih baik ketimbang jenis terapi testosteron sebelumnya. Ini dikarenakan LibiGel dapat mempertahankan kandungan kimianya secara konstan, seperti halnya pada testosteron alami.

Pada tahap kedua ujicoba klinis di 7 institusi, LibiGel terbukti dapat meningkatkan kepuasan hubungan seksual hingga 283 persent pada wanita yang memakai obat ini. (AP/AC)

Reksa Dana Masih Menjanjikan

Instrumen Investasi
Reksa Dana Masih Menjanjikan

oleh: Joice Tauris Santi

Aset industri reksa dana meningkat pesat sepanjang tahun 2007. Pada awal Januari 2007, asetnya masih Rp 51,6 triliun dan menjelang akhir tahun sudah Rp 91,5 triliun. Sebelumnya, tahun 2005, aset industri reksa dana sempat mencapai titik tertinggi sebanyak Rp 110 triliun pada bulan Februari.

Sayangnya, karena gejolak harga obligasi ditambah dengan kesalahan jual dari agen penjual, asetnya menyusut drastis menjadi Rp 28 triliun pada Desember 2005.

Hingga dua tahun setelah kejadian tersebut, aset reksa dana belum juga kembali ke titik tertingginya. Walaupun demikian, sudah ada percepatan kenaikan aset yang cukup besar pada tahun ini.

Selain peningkatan pesat tahun ini, komposisi di antara jenis-jenis reksa dana juga sudah seimbang. Tahun 2005, 85 persen aset reksa dana adalah pendapatan tetap atau obligasi.

Sisanya barulah terbagi menjadi reksa dana jenis campuran, saham, pasar uang, dan pendatang baru reksa dana terproteksi. Komposisi yang tidak sehat ini juga menjadi salah satu penyebab merosotnya aset reksa dana ketika pasar obligasi terguncang pada tahun 2005.

Penguatan harga saham sepanjang tahun lalu dan semakin mengertinya investor mengenai investasi jangka panjang menjadi faktor peningkatan porsi reksa dana saham.

Sepanjang tahun 2007, indeks saham telah naik sekitar 50 persen. Beberapa manajer investasi yang mengelola reksa dana saham bahkan dapat memberikan tingkat imbal hasil lebih dari 50 persen.

Ketua Asosiasi Pengelola Reksa Dana Abipriyanto mengatakan, komposisi yang semakin imbang ini untuk industri reksa dana. Di Amerika Serikat, misalnya, sebagian besar aset reksa dana adalah reksa dana saham yang merupakan investasi jangka panjang.

Kesadaran menempatkan dana pada instrumen investasi jangka panjang tidak hanya menggugah para investor perorangan, melainkan juga investor institusi, seperti asuransi dan dana pensiun.

Ketua Asosiasi Dana Pensiun Indonesia Eddy Praptono mengatakan, keinginan untuk mendapatkan hasil yang lebih tinggi memang ada di kalangan dana pensiun yang selama ini konservatif dan menempatkan sebagian besar dananya pada deposito.

Tantangan tahun 2008

Apakah penempatan investasi dalam reksa dana masih akan membuahkan hasil sebagus tahun 2007 merupakan pertanyaan setiap investor maupun calon investor reksa dana. Tingginya harga minyak akan memicu peningkatan harga energi dan akhirnya menyebabkan kenaikan harga yang pasti akan ditanggung konsumen.

Selain itu, semakin tingginya biaya produksi akan mengurangi margin keuntungan, juga mengurangi pendapatan dan kinerja perusahaan secara keseluruhan. Akhirnya, kemungkinan laju kenaikan harga saham-saham akan tersendat.

"Dari sisi pengelolaan portofolio investasi, tingginya harga minyak menjadi tantangan untuk melakukan rebalancing portofolio dengan memanfaatkan peluang positif pada sektor-sektor yang mengalami dampak positif atas kenaikan harga minyak dan mengurangi bobot pada sektor yang terpengaruh secara negatif," kata Presiden Direktur Fortis Investment Eko Pratomo.

Eko menambahkan, ia masih berharap kinerja maupun pertumbuhan reksa dana saham akan tetap positif, tetapi akan sulit menyamai kinerja tahun 2007. Selalu ada faktor risiko, salah satunya tingginya harga minyak. Oleh karena itu, investor tetap perlu melihat investasi pada saham sebagai investasi jangka panjang untuk mengurangi risiko kerugian karena fluktuasi harga dalam jangka pendek.

Eko memperkirakan, tahun 2008 aset reksa dana saham mungkin masih bisa tumbuh di atas 50 persen, jika minat investor mengalihkan sebagian investasinya untuk jangka panjang ke saham masih cukup besar karena tren penurun tingkat suku bunga masih berlangsung.

Reksa dana baru

Setelah jenis reksa dana berkembang menjadi reksa dana indeks, reksa dana terproteksi dan exchange traded fund (ETF/reksa dana indeks yang diperjualbelikan di bursa) tahun 2008, industri reksa dana juga akan diramaikan dengan jenis reksa dana baru, yaitu reksa dana dengan tujuan khusus.

Investasi reksa dana dengan tujuan khusus tidak hanya terbatas pada aset-aset yang tercatat di pasar modal saja, seperti saham perusahaan tercatat atau obligasi. Reksa dana dengan tujuan khusus ini diperkenankan berinvestasi pada proyek-proyek bahkan komoditas melalui resi gudang.

"Reksa dana jenis ini ditujukan untuk investor yang sophisticated, investor yang sudah mengetahui risiko-risiko investasi. Risiko yang dikandung reksa dana jenis ini lebih tinggi," ujar Kepala Biro Pengelolaan Investasi Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Djoko Hendratto.

Direktur Utama Kliring Penjaminan Indonesia Surdiyanto menambahkan, reksa dana bertujuan khusus kelak dapat pula menjadikan komoditas yang tersimpan dalam resi gudang menjadi asetnya.

"Misalkan jika Bulog memerlukan dana untuk pengadaan beras, dapat mencari dana dengan agunan resi gudang. Atau perusahaan perkebunan mencari dana dengan agunan olein atau minyak sawit mentah," ujarnya.

Saat ini pembicaraan mengenai kolaborasi antara pasar modal dan pasar komoditas dalam reksa dana bertujuan khusus sedang dibicarakan.

Pengangguran Terbuka Turun

BPS: Pengangguran Terbuka Turun

KCM, JAKARTA,RABU - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, angka pengangguran terbuka pada Agustus 2007 mencapai 10,01 juta orang atau turun sekitar 8,42 persen dari 10,93 juta orang pada Agustus 2006, dan turun 5,08 persen dari 10,55 juta orang pada Februari 2007.

Deputi BPS Bidang Statistik Sosial, Arizal Ahnaf, di Jakarta, Rabu (2/1), mengatakan, berdasarkan Survei Ketenagakerjaan Nasional (Sakrernas) 2007 pada 278 ribu rumah tangga, jumlah penduduk bekerja pada Agustus 2007 mencapai 99,93 juta atau naik 4,68 persen dari jumlah penduduk bekerja pada Agustus 2006 sebanyak 95,46 juta orang.

Angka penduduk bekerja itu naik 2,40 persen dari Februari 2007 sebanyak 97,58 juta orang. "Tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2007 mencapai 9,11 persen, mengalami penurunan dibandingkan pada Februari 2007 sebesar 9,75 persen, dan Agustus 2006 sebesar 10,28 persen," kata dia pula.

Sedangkan jumlah angkatan kerja pada Agustus 2007 mencapai 109,94 juta orang, naik 3,33 persen dari jumlah angkatan kerja pada Agustus 2006 (106,39 juta orang) dan naik 1,67 persen dari Februari 2007 (108,13 juta orang).

Dari sisi gender, katanya, penurunan penganggur terbesar terjadi pada perempuan, yang mengalami penurunan sebesar 720 ribu orang dibandingkan dengan penganggur laki-laki yang hanya mengalami penurunan sebesar 201 ribu orang.

Selain itu, tambahnya, jumlah pekerja perempuan dari Agustus 2006-Agustus 2007 bertambah 3,30 juta, terbesar di sektor pertanian dan perdagangan. Sedangkan jumlah pekerja laki-laki hanya bertambah 1,17 juta orang terutama di sektor jasa dan konstruksi. "Tingginya peningkatan penduduk perempuan yang bekerja di samping karena dorongan ekonomi, kemungkinan juga karena semakin terbukanya kesempatan bekerja bagi kaum perempuan," tuturnya.

Peningkatan jumlah tenaga kerja perempuan, ujarnya, sebagian besar berasal dari perempuan yang sebelumnya berstatus mengurus rumah tangga (bukan angkatan kerja). Selain itu, peningkatan jumlah tenaga kerja perempuan terjadi di kegiatan informal, katanya, memberikan indikasi adanya kemudahan keluar masuk ke pasar kerja.

Lebih lanjut, dia menjelaskan, jumlah orang yang termasuk setengah pengangguran (orang yang bekerja di bawah 35 jam per minggu) menunjukkan kecenderungan yang meningkat pada Agustus 2007 (30,37 juta orang) dibandingkan Februari 2007 (30,24 juta orang) maupun keadaan Agustus 2006 (29,10 juta orang). "Oleh sebab itu, maka sebenarnya jumlah penduduk yang ’under employment’ (tidak punya pekerjaan tetap-red) sebenarnya 40,38 juta orang (36,73 persen-red)," katanya.

Dijelaskannya, penambahan jumlah penduduk yang bekerja selama setahun terakhir, tertinggi terjadi pada sektor perdagangan (1,34 juta orang) diikuti sektor pertanian (1,07 juta orang) dan jasa kemasyarakatan (664 ribu orang).

Berdasarkan status pekerjaan, pada Agustus 2007, sekitar 69 tenaga kerja masih bekerja di sektor informal. "Peningkatan tenaga kerja dengan status ’pekerja tidak dibayar’ yang cukup tinggi dibanding Agustus 2006 (1,11 juta orang-red), menjadi sesuatu hal yang dapat memperkuat dugaan bahwa unsur "keterpaksaan" dalam bekerja menjadi semakin kuat," katanya.

Dia mencontohkan, istri yang membantu suami berdagang merupakan contoh pekerja yang tidak dibayar. "Jika dibandingkan dengan keadaan Agustus 2006, terjadi penurunan angka pengangguran di sebagian besar provinsi, kecuali tiga propinsi yaitu Sumatera Selatan, DKI Jakarta dan Nusa Tenggara Timur yang mengalami kenaikan," katanya.

Berdasarkan wilayah, tingkat pengangguran tertinggi terjadi di wilayah Provinsi Banten, Jawa Barat, dan DKI Jakarta, yaitu masing-masing 15,75 persen, 13,08 persen, dan 12,57 persen. Sedangkan provinsi dengan tingkat pengangguran terkecil terjadi adalah Nusa Tenggara Timur 3,72 persen. Dan jumlah pekerja dengan jumlah jam kerja kurang dari delapan jam perminggu, katanya, hanya 1,05 juta orang atau 1 persen dari keseluruhan jumlah penduduk bekerja. (ANT/EDJ)

Selasa, 01 Januari 2008

Ciuman Bahayakan Penderita Alergi


Ciuman Bahayakan Penderita Alergi




Bagi orang yang mengidap alergi, pengertian istilah safe sex, atau berhubungan seks secara aman, perlu diperluas sehingga menjadi lebih dari sekadar kondom dan penyakit menular seksual.

Pertanyaan "Di rumahku atau di rumahmu?" mungkin akan tergantung pada jawaban atas pertanyaan: "Apakah kamu punya kucing?" Begitu pula orang yang alrgi terhadap kacang, kenari, atau produk-produk yang menggunakan kacang, barangkali juga perlu bertanya, "Apa saja yang kamu makan selama enam jam ini?"

Orang yang alergi terhadap kacang, tutur Dr. Rosemary Hallett dalam pertemuan tahunan ke 59 American College of Allergy, Asthma, and Immunology, pertengahan November ini, akan mengalami reaksi bila mereka berciuman dengan seseorang yang baru saja makan bahan pemicu alergi tersebut.

"Dalam kuisioner yang diisi pengidap alergi kacang, 5 persen menyatakan alergi mereka muncul setelah mereka berciuman dengan seseorang yang sebelumnya makan sejenis kacang," papar Hallett, ahli alergi dan imunologi dari University of California-Davis.

Kuisioner yang diisi oleh 440 responden itu dirancang untuk mengetahui jenis-jenis paparan yang membuat pengidap alergi rawan. Selain suami-isteri, pria dan wanita yang masih lajang, kanak-kanak yang sering dicium saudara atau kakek dan neneknya juga dipandu ikut mengisi kuisioner.

Satu hal yang membuat periset kaget adalah, meski makanan pemicu alergi sudah cukup lama dimakan, yaitu enam jam, tapi bagi pengidap alergi, makanan (alergen) itu ternyata masih sanggup memicu reaksi alergi pada diri mereka. Padahal menurut peneliti, di antara suami-istri pengisi kuisioner, sebelum berciuman sudah melakukan tindakan pencegahan terlebih dahulu seperti gosok gigi atau berkumur dengan pembersih mulut.
Meski begitu, itu semua toh tidak mempan. Di antara responden yang masih mampu mengingat tindakan yang mereka lakukan begitu alergi mereka kumat, 10 orang langsung menelan antihistamine untuk meredakan reaksi alergi mereka. Sedang satu anak yang mengalami reaksi anaphylactic, harus menjalani perawatan darurat di rumahsakit.

"Ini merupakan paparan yang perlu diketahui oleh pengidap alergi kacang. Mereka perlu memastikan agar keluarga dan temannya tahu bahwa mereka bisa terkena penimbul alergi lewat ciuman seseorang yang baru memakan makanan yang mengandung penimbul alergi tersebut," kata Hallett.



Sumber: Gaya Hidup Sehat

Ilmuan Korsel Kloning Babi Dari Sel Induk



Ilmuwan Korsel Kloning Babi dari Sel Induk


SEOUL, Kompas, JUMAT, 28 Des 2007 - Terobosan dalam bidang kloning kembali dicapai para ilmuwan di Korea Selatan dengan keberhasilannya menggandakan babi menggunakan sel induk. Kloning dengan sel induk menjanjikan karena dapat meningkatkan peluang keberhasilan kloning.

Selama ini, embrio hasil kloning dibuat dari sel somatik (bagian tubuh). Peluang keberhasilan kloning dengan sel somatik hanya 5 persen. Sementara, dengan sel induk peluang keberhasilan terbentuknya embrio bisa ditingkatkan hingga 20 persen.

"Ini metode yang sangat efisien untuk menghasilkan babi kerdil kloning," ujar Seong Hwan-hoo, peneliti senior dari National Institute of Animal Science, Korea Selatan. Para peneliti yang dipimpinnya menggunakan sel induk yang diekstrak dari sumsum tulang babi kerdil yang beratnya hanya 60 hingga 80 kilogram saat dewasa.

Empat ekor babi hasil kloning lahir pada 3 Desember 2007 lalu. Salah satunya tidak bertahan hidup, seekor dibunuh untuk analisis DNA, dan dua ekor lainnya hidup normal sampai sekarang.(AFP/WAH)

2008 - Pertarungan Komitmen Dan Momentum

ANALISIS
2008,Pertaruhan Komitmen dan Momentum
Rabu, 02/01/2008

HAMPIRsetiap awal tahun baru,saat-saat kita menilai catatan dan pencapaian tahun sebelumnya, kita justru dirundung kedukaan karena berbagai bencana alam.Tahun ini juga demikian.

Kita melihat banjir dan tanah longsor di berbagai daerah. Berbagai bencana tersebut seakan mengingatkan betapa besar masalah dan tantangan yang sedang kita hadapi, sekaligus suatu pertanda agar kita tak boleh cepat berpuas diri. Paling kurang ada tiga cara untuk menilai suatu prestasi.

Pertama, dengan membandingkan capaian tahun sekarang dengan tahun sebelumnya. Kedua, dengan membandingkan apa yang kita capai dengan apa yang dicapai negara lain yang sebanding. Ketiga, membandingkan capaian dengan target yang diharapkan atau yang seharusnya dapat dicapai. Dengan cara pertama, capaian yang diperoleh selama 2007 lebih baik dibanding 2005 dan 2006.Ekonomi tumbuh sekitar 6,3%,melebihi prestasi 2006 yang hanya 5,5%. Indikator lain juga lebih baik,seperti tingkat inflasi yang lebih rendah, penyaluran kredit yang meningkat, indeks saham yang memecahkan rekor, dan ekspor yang lebih tinggi.

Bila digunakan cara kedua, dengan membandingkan apa yang kita capai dengan sejumlah negara lain, seperti China, India, dan Vietnam, prestasi kita masuk kategori sedang karena negara-negara tersebut mencatat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, rata-rata di atas 8%. Negara-negara tersebut ternyata mampu memanfaatkan peluang eksternal-global yang sama dengan lebih baik. Bagaimana bila cara ketiga yang digunakan? Tentu tergantung target dan harapan mana yang kita pilih.

Dengan acuan target APBN, biasanya tidak akan ada selisih besar karena target-target atau yang dalam APBN disebut sebagai asumsi-asumsi, dapat direvisi dan target dinyatakan sebagai rentang (interval estimation). Kalau yang digunakan janji-janji dalam kampanye, maka hampir dipastikan siapa pun akan gigit jari alias kecewa. Sebenarnya, dengan perbaikan mekanisme kerja dan koordinasi antarinstansi, pertumbuhan ekonomi bisa lebih tinggi. Peran APBN sebagai stimulus ekonomi tidak berjalan maksimal karena pencairan anggaran hampir selalu terlambat.

Pembangunan infrastruktur yang sudah sangat mendesak juga terkendala masalah- masalah internal pemerintahan. Ketiga, membandingkan capaian dengan target yang diharapkan atau yang seharusnya dapat dicapai. Dengan cara pertama, capaian yang diperoleh selama 2007 lebih baik dibanding 2005 dan 2006. Ekonomi tumbuh sekitar 6,3%, melebihi prestasi 2006 yang hanya 5,5%. Indikator lain juga lebih baik, seperti tingkat inflasi yang lebih rendah, penyaluran kredit yang meningkat, indeks saham yang memecahkan rekor, dan ekspor yang lebih tinggi. Bila digunakan cara kedua,dengan membandingkan apa yang kita capai dengan sejumlah negara lain, seperti China, India, dan Vietnam, prestasi kita masuk kategori sedang karena negara-negara tersebut mencatat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, rata-rata di atas 8%.

Negara-negara tersebut ternyata mampu memanfaatkan peluang eksternal-global yang sama dengan lebih baik. Bagaimana bila cara ketiga yang digunakan? Tentu tergantung target dan harapan mana yang kita pilih. Dengan acuan target APBN,biasanya tidak akan ada selisih besar karena target-target atau yang dalam APBN disebut sebagai asumsi-asumsi,dapat direvisi dan target dinyatakan sebagai rentang (interval estimation). Kalau yang digunakan janji-janji dalam kampanye, maka hampir dipastikan siapa pun akan gigit jari alias kecewa. Sebenarnya, dengan perbaikan mekanisme kerja dan koordinasi antarinstansi, pertumbuhan ekonomi bisa lebih tinggi.

Peran APBN sebagai stimulus ekonomi tidak berjalan maksimal karena pencairan anggaran hampir selalu terlambat. Pembangunan infrastruktur yang sudah sangat mendesak juga terkendala masalah-masalah internal pemerintahan. Dalam kasus kayu di Riau, simpang siur kewenangan dan koordinasi antara Departemen Kehutanan dan Kepolisian Daerah menyebabkan hilangnya peluang ekspor bermiliarmiliar dolar. Tentu saja 2007 masih meninggalkan banyak persoalan.

Jangan lupa, di masa Orde Baru kita terbiasa dengan pertumbuhan ekonomi di atas 7%, tetapi tiba-tiba kita dikagetkan betapa kualitas pertumbuhan tersebut sangat buruk, yang akhirnya mengarah pada krisis hebat. Kita tentu tidak ingin mengulangi rute menyakitkan ini lagi. Pertumbuhan tinggi saat itu sangat mengandalkan utang luar negeri (debt-led development), eksploitasi sumber daya alam, dan dikerjakan dengan tingkat efisiensi rendah dalam budaya yang sarat korupsi, kolusi,dan nepotisme (KKN). Dalam kaitan itulah kita tetap menyoroti bagaimana dampak pertumbuhan tersebut bagi kelompok ekonomi menengah-bawah.

Angkaangka pengangguran dan kemiskinan, di luar perdebatan metodologi yang digunakan, tampaknya tetap memprihatinkan. Kelompok ini sangat terpukul dengan berbagai kenaikan harga sepanjang 2007 dan sama sekali tidak terhibur oleh laporan angka inflasi yang rendah. Para penabung kecil juga terus mengalami proses pemiskinan secara sistematis karena bunga riil yang diterima negatif. Usaha kecil semakin kembangkempis dan di banyak bidang tak berdaya menghadapi empasan produk impor. Jumlah mereka yang terlibat dalam kegiatan informal, meski data akurat tak ada, tampak semakin besar, seperti yang dengan mudah bisa kita lihat pada maraknya rumah-rumah kumuh, gubuk liar, jumlah pengamen, pengasong, pengemis, pekerja ojek, wanita penghibur, dan sebagainya.

Pengangguran lulusan sarjana juga semakin mudah terlihat dari membanjirnya surat-surat lamaran kerja yang memperebutkan lowongan kerja terbatas. Sementara pola hidup mewah terus-menerus dipertontonkan oleh kalangan elite. Pesta-pesta di hotel berbintang semakin marak luar biasa. Upacara-upacara seremonial para pejabat di berbagai tingkatan semakin sering kita lihat. Kunjungan-kunjungan Presiden, bahkan untuk melihat banjir sekali pun, disesaki para pejabat yang mungkin meninggalkan tugas utamanya di kantor. Presiden dan Wapres sendiri pernah menyampaikan keprihatinan terhadap pola hidup mewah ini, tetapi mengapa kebiasaan ini tidak juga berubah.

Birokrasi pemerintah juga tetap dipandang bermasalah oleh sebagian besar masyarakat, seperti yang disuarakan oleh para pelaku usaha dalam banyak survei.Tampaknya prinsip birokrat ”Kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah, kalau bisa diperpanjang mengapa diperpendek”masih kuat tertanam. Birokrasi lebih minta dilayani bukan melayani. Persepsi publik terhadap parlemen, kepolisian, dan lembaga penegak hukum yang dianggap sangat korup juga belum berubah.

Bagaimana dengan 2008? Berbagai kalangan, termasuk lembaga- lembaga internasional, menyatakan pertumbuhan ekonomi global akan menurun, sebagai akibat lanjut dari krisis kredit sektor perumahan (subprime mortgage) di AS dan harga minyak yang masih tidak menentu. Ketegangan perdagangan antarkawasan mungkin juga akan semakin meningkat, seperti kisruh soal subsidi pertanian antara AS dan Eropa atau tuduhan praktik bisnis curang antara AS dan China.

Meski demikian, Asia tetap dipandang sebagai wilayah dengan prospek pertumbuhan terbaik, mengingat China dan India masih merupakan pasar yang sangat potensial. Pembangunan infrastruktur dan realisasi komitmen investasi di sektor riil juga diharapkan semakin menguat pada 2008. Bila ini terjadi, tentu akan memiliki dampak pengganda yang besar terhadap kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Keterbatasan dan kualitas infrastruktur yang ada selama ini dipandang sebagai salah satu kendala sisi penawaran (supply-side constraint) yang mengurangi daya tarik investasi dan peningkatan kapasitas ekonomi nasional untuk bertumbuh.

Pemerintah tentu diharapkan semakin tegas (decisive) untuk mengatasi berbagai kekurangan yang terjadi selama ini, dan mempertahankan momentum untuk hal-hal yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi yang semakin berkualitas. Partisipasi Indonesia dalam ajang pasar persaingan global juga harus tetap dikawal oleh peran regulatif yang tidak merugikan rakyat banyak.Kebijakan ”lepas tangan” (hands-off economic policy) yang semata-mata memikirkan keselamatan APBN, tetapi yang membuat beban berat diteruskan langsung ke masyarakat, seperti yang terjadi pada kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM) dan pungutan pajak, sebisa mungkin harus dilakukan secara sangat hati-hati. Masyarakat luas selalu merindukan kebijakan publik yang tegas berpihak kepada rakyat banyak. Dalam segala keterbatasan dan kekurangannya, mereka selalu menyanyikan lagu rindu kepada para pemimpinnya.
* PROF HENDRAWAN SUPRATIKNO PHD*
*Penulis, Direktur Pascasarjana dan Program Doktor IBII, Jakarta.

Persaingan Tajam Di Bawah Pertumbuhan Sedang Indonesia Tahun 2008

ANALISIS EKONOMI
Persaingan Tajam di Bawah Pertumbuhan Sedang Indonesia Tahun 2008

DJISMAN S SIMANJUNTAK

Bagian yang besar dari berbagai kejadian ekonomi tahun 2008 adalah warisan dari tahun 2007 dan sebelumnya walaupun perhatian kita cenderung semakin terpusat pada perubahan terkini dan futuristik.

Sesama peramal ekonomi ada sejenis konsensus bahwa kinerja ekonomi dunia dalam 2008 akan melemah dibandingkan dengan tahun 2007. Krisis kredit perumahan Amerika Serikat menyeret banyak ekonomi negara lain ke dalam krisis serupa dan resesi berat investasi perumahan memperburuk dampak kenaikan harga komoditas primer, terutama minyak bumi.

Dalam ekonomi dunia seperti itu, Indonesia mencatat dalam 2007 kinerja yang secara keseluruhan patut disebut sebagai kinerja sedang. Sangat mungkin kinerja sedang itu akan bertahan pada 2008.

Beberapa undang-undang memang sudah disahkan, tetapi pelaksanaannya dihambat oleh macam-macam inersia dalam pemerintah dan birokrasi, parlemen ataupun masyarakat legal.

Menguat, tetapi kalah cepat

Ada beberapa alasan untuk menyebut tahun 2007 sebagai tahun kinerja sedang. Pertumbuhan ekonomi memang membaik, tetapi hanya sedikit menjadi 6,5 persen dari 5,48 persen dalam tahun 2006 dan masih tetap jauh di belakang negara China, India, dan kini Vietnam.

Seperti sebelumnya, pertumbuhan terkuat terjadi dalam pengangkutan, telekomunikasi dan listrik, yaitu sektor-sektor nondagang internasional. Sumbangan ekspor bersih memang naik, tetapi berasal terutama dari komoditas primer. Investasi sebagai sumber pertumbuhan hari depan memang menunjukkan tanda-tanda kebangkitan yang menggembirakan.

Sebagai persentase produk domestik bruto, ia naik menjadi 24,4 persen dalam triwulan ketiga 2007. Impor mesin-mesin naik tajam.

Lalu lintas keuangan dan modal asing menunjukkan surplus biarpun tidak besar. Harga saham naik tajam seraya mendorong produksi aset produktif.

Kredit perbankan juga naik 15 persen meski penanaman dana dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang mengindikasikan intermediasi terbalik juga naik dengan kecepatan yang sama.

Sampai Agustus 2007, persetujuan penanaman modal dalam negeri sudah naik 51 persen dibandingkan dengan masa yang sama tahun 2006 dan persetujuan penanaman modal asing naik 213 persen dalam sembilan bulan pertama 2007.

Inflasi bertahan pada tingkat yang jauh di atas tingkat inflasi negara tetangga karena inflasi Indonesia melaju lebih cepat ke arah 7 persen.

Cadangan devisa sudah di atas 50 miliar dollar AS, menandakan neraca pembayaran yang sehat, terutama karena bagian yang lebih besar dari kenaikan ini berasal dari surplus transaksi berjalan.

Sayang, citra yang dikesankan oleh angka-angka di atas harus dikeruhkan karena beberapa hal. Pertama, Indonesia menderita pengangguran yang parah, terutama pengangguran terselubung.

Kedua, warga miskin dan warga di pinggir kemiskinan di Indonesia masih tetap sangat banyak.

Ketiga, inersia pemerintahan pusat dan daerah, manajemen BUMN dan BUMD, parlemen dan masyarakat hukum masih lebih kuat dibandingkan dengan terobosan-terobosan kebijakan.

Keempat, dalam perlombaan pembangunan Asia Timur, Indonesia masih ditinggal semakin jauh oleh negara tetangga yang paling relevan.

Ekonomi dunia melemah

Masih ada dua faktor yang akan memengaruhi kinerja ekonomi Indonesia tahun 2008 di samping kinerja tahun 2007. Salah satunya adalah melemahnya kinerja ekonomi dunia dan ketidakpastian tentang akhir dari ketimpangan makroglobal dewasa ini.

Keadaan bisa memburuk jika jatuhnya sektor perumahan ternyata lebih buruk dari yang diperkirakan atau kalau harga minyak bumi naik ke 100 dollar AS per barrel dan bertahan di situ.

Sebelum krisis kredit perumahan ini pun, dunia sudah dihantui oleh ketimpangan makro yang struktural. Amerika Serikat di satu pihak hidup selalu dengan pasak yang lebih besar daripada tiang.

Defisit transaksi berjalan AS naik ke 5,6 persen dalam 2007 atau jauh di atas batas 2,5 persen yang dianggap aman. Mendanai defisit ini dengan utang tentu ada batasnya.

Di lain pihak, Asia Timur umumnya, serta Jepang dan "China Raya" di lain pihak, memupuk surplus yang membesar terus. Surplus transaksi berjalan China akan naik menjadi 11,25 persen dari produk domestik bruto tahun 2007.

Biarpun ekonomi dunia melemah, Indonesia dapat saja mengurangi dampak pelemahan itu melalui inovasi kebijakan. Ruang gerak masih terbuka bagi kebijakan fiskal yang lebih ekspansif digabung dengan kebijakan moneter yang juga lebih ekspansif.

Namun, perubahan besar dalam profil kebijakan makro tampak tidak leluasa. Di kalangan menteri-menteri ekonomi tampaknya ada kekhawatiran bahwa kebijakan makro yang lebih ekspansif tidak menolong banyak karena daya serap yang dibatasi oleh inersia dalam politik dan birokrasi.

Gunung yang semakin menjulang tidak dapat dipindahkan dengan cangkul yang semakin tumpul. Dengan sentuhan manajemen, kota-kota utama Indonesia dapat dikoneksi ke kota utama lain dunia pada umumnya dan di Asia Timur khususnya untuk menjadi bagian dari sistem produksi global dan aneka ragam bisnis wisata yang tumbuh pesat di Asia Timur.

Indonesia tidak mempunyai pilihan kecuali menyerang persoalan-persoalan struktural ini kalau hendak memasuki kembali lajur pertumbuhan tinggi yang berkelanjutan.

Peluangnya tidak besar bahwa persoalan-persoalan struktural itu akan ditangani secara besar-besaran dalam 2008. Karena itu, peluang sukses kebijakan makro yang lebih ekspansif di tengah ekonomi dunia yang melambat juga adalah kecil.

Profil dasar kebijakan Indonesia tahun 2008 tampaknya akan sama saja dengan profil dasar tahun 2007. Jika demikian, guncangan yang dapat datang dari kenaikan harga minyak bisa menjadi pukulan berat bagi Indonesia dengan saldo ekspor migasnya yang sudah mendekati nol.

Hubungan ekonomi AS-China dapat memburuk, tetapi tidak sedemikian jauh hingga Indonesia mendapat durian runtuh berupa relokasi besar-besaran industri-industri Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang yang sekarang mengekspor besar-besaran ke AS.

Di bawah lingkungan global, regional, dan lokal yang disketsakan di atas, Indonesia akan tumbuh sedang-sedang lagi. Tetapi karena ukurannya yang sudah cukup besar, ekonomi yang tumbuh dengan sedang itu akan dipersaingkan dengan semakin tajam sesama peserta lokal, regional, dan global.

Untuk bertahan di dalamnya, para pelaku harus bekerja semakin keras dan kreatif seperti "Ratu Merah".

Sumber: KCM.

Makin Gemuk, Nafas Makin Bau

Makin Gemuk, Nafas Makin Bau

Tel Aviv, Sabtu - Nafas tak sedap ternyata tidak hanya berkaitan dengan kesehatan gigi dan mulut semata. Tetapi bisa jadi berhubungan dengan berat badan Anda.

Kaitan antara kegemukan (obesitas) dan bau mulut terungkap dalam sebuah riset yang dilakukan para ahli da­ri Universitas Tel Aviv, Israel, belum lama ini.

Riset yang dipubliksikan dalam Journal of Dental Research itu, di­pim­pin oleh pakar kesehatan mulut, Prof Mel. Ro­senberg, Department of Human Microbiology and The Maurice and Gabriela Goldschleger School of Dental Medicine, Sackler Faculty of Medicine di Universitas Tel Aviv.

Salah satu kesimpulan penting dalam riset itu adalah semakin berat tubuh Anda, ma­ka semakin bau pula nafas Anda. Studi yang sama juga berhasil me­ngungkap bukti ilmiah pertama mengenai kaitan antara bau mulut dengan tingkat konsumsi alkohol.

"Penemuan mengenai alkohol dan nafas bau tidaklah mengejutkan sebab bukti yang bersifat anekdot sudah lama ada. Walau begitu penemuan mengenai korelasi antara obesitas dan nafas tak sedap belum terantisipasi,” ungkap Prof. Rosenberg.

Dalam risetnya, Prof. Rosenberg melibatkan 88 orang dewasa dengan ukuran be­rat dan ting­gi badan bervariasi. Responden diundang ke se­buah klinik untuk melakukan check-up, di mana mereka juga mendapat pemeriksaan nafas serta kebiasaan sehari-hari.

Para peneliti menemukan, responden yang mengalami kegemukan (obesitas) cenderung me­miliki napas tidak sedap atau hal­itosis. "Penelitian ini dimaksudkan untuk masyarakat umum. Namun kami belum mengetahui pasti pe­nyebabnya secara ilmiah. Ini akan menjadi tahap selajutnya ” ungkap Prof. Rosenberg

Untuk sementara, Prof. Rosenberg menduga bahwa hubungan antara obesitas dan bau mulut dapat disebabkan oleh be­berapa faktor. Misalnya, orang yang obes mungkin saja melakukan program diet yang menyebabkan mu­lut menjadi kering. Kemung­ki­nan lain, orang gemuk cenderung malas menjaga kesehatan mulut mere­ka.

Obesitas sendiri merupakan masalah yang banyak ditemukan di kehidupan modern sekarang. Sementara bau mulut adalah fenomena masyarakat yang sudah terjadi ribuan tahun silam.

"Saya sudah membaca laporan tentang bau mulut dalam sejarah Mesir Kuno. Dalam sejarah Roma pun ada seorang bernama Cosmos yang menjual obat penyegar mulut. Nafas tak sedap seringkali disebut dalam kitab suci Yahudi," ujar Prof. Rosenberg.

Masalah bau mulut atau nafas tak sedap ini pun masih menjadi masalah di zaman ini. Bau mulut — dan kekhawatian orang mengalaminya — melanda jutaan orang di dunia karena memang tidak mudah untuk menyadari bau nafas sendiri. Dalam riset pun ada sembilan orang responden yang mengaku tidak sadar jika na­pas mereka bau. Ini sebuah hal yang lumrah karena orang terkadang malas me­nge­cek bau mulutnya sendiri. (ScienceDaily/AC)
Sumber: KCM.

Investasi 2007 Tidak Capai Target

Investasi 2007 Tidak Capai Target
Penulis: Heni Rahayu

JAKARTA--MEDIA: Menteri Keuangan Sri Mulyani mengemukakan investasi tahun 2007 diperkirakan hanya 7,9% (dibulatkan ke atas menjadi 8%), gagal mencapai target yang ditetapkan pemerintah sebesar 12,3%. Meski demikian, angka investasi tahun 2007 naik empat kali lipat dibanding tahun 2006 yang hanya 2,9%.

''Investasi kita sebenarnya 12,3%, tetapi yang terjadi adalah di bawah 8% atau 7,9%. Tapi, trennya memang positif, karena kalau kita lihat dari PMDN, itu 2006 hanya 2,9%, terjadi lonjakan di PMDN, PMA, persetujuannya maupun realisasinya,'' katanya.

Kendati gagal meraih target, pemerintah memastikan nilai ekspor Indonesia lebih baik sehingga bisa mengkompensasi rendahnya investasi. Realisasi ekspor tahun 2007 sebesar US$112 miliar, lebih tinggi dari 2006 atau naik 12% dari tahun sebelumnya.

'Sedangkan untuk impor 2007, breakdown migas dan nonmigas, dari sisi nonmigas yang menunjang banyak kegiatan ekonomi, impor 2007 naik terutama untuk barang modal biji bijian, mesin kendaraan lainnya, peralatan listrik, dan baja'' katanya.

Selain itu, realisasi belanja modal tahun 2007 juga mengalami kenaikan yakni sebesar 89,4%. Angka ini meningkat dari angka realisasi tahun 2006 sebesar 82,4%. ''Untuk belanja modal, kita surprise karena sebelumnya hanya 83%. Selama dua minggu ini penyerapan belanja modal digenjot dan mencapai 89,4%,'' katanya.(Ray/OL-2)

Gemba

About Gemba (The workplace)

The Japanese use the word gemba in their daily speech. When the earthquakes shook Kobe in January 1995, TV reporters at the scene referred to themselves as "reporting from gemba"; in the background, one could see houses in flames or collapsed elevated highways. In business, the value-adding activities that satisfy the customer happen in gemba. All businesses practice three major activities directly related to earning profit: developing, producing, and selling. Without these activities, a company cannot exist. Therefore, in a broad sense, gemba means the sites of these three major activities.

In a narrower context, however, gemba means the place where the products or services are formed. I will use the word in this narrower context, since these sites have been one of the business arenas most neglected by management.
Managers seem to overlook the workplace as a means to generate revenue, and they
usually place far more emphasis on such sectors as financial management, marketing and sales, and product development. When management focuses on gemba or work sites, they discover opportunities for making the company far more successful and profitable.

In many service sectors, gemba is where the customers come into contact with the services offered. In the hotel business, for instance, gemba is everywhere: in the lobby, the dining room, guest rooms, the reception desk, the check-in counters, and the concierge station. At banks, the tellers are working in gemba, as employees working at desks in offices and for telephone operators sitting in front of switchboards. Thus gemba spans a multitude of office and administrative functions.

Most departments in these service companies have internal customers with whom they have inter-departmental activity, which also represents gemba. A Telephone call to a general manager, production manager, or quality manager at a Japanese plant is like to get a response from the manager's assistant to the effect that "He is out at gemba."

One of the problems I notice in many companies and organizations (such as government offices, social institutions, educational institutions and hospitals) is that top managers of these organizations are often out of touch of realities of gemba.

Often, they have no idea what is going on in gemba and are even afraid to go there. Instead, they receive reports from gemba sitting at their desk and give orders based on such information.

Some managers are even proud that they have little contact with gemba! If they realize that the value-adding activities of satisfying the customers are conducted in gemba, they should change their perception of gemba and regard it as one of the most important place in the company and realize that their jobs should be to support gemba, rather than criticize gemba for the mistakes they make.

After all, management is responsible for hiring and training gemba employees, as well as providing the conditions of work in gemba. Whenever things go wrong, management should say: where did it go wrong? Did we provide enough training?
Is the standard adequate? How can "we" (meaning the management) improve so that these guys can do a better job? gemba is like a window through which we look into the quality of management. Whenever I walk into a lobby of a hotel, or a bank or a shop floor of a plant, I can see the quality of management behind.
Assistant Professor Takeshi Kawase of Keio University writes in Solving Industrial Engineering Problems (published by Nikkan Kogyo Shinbun in Japanese, 1995):
"People within a company can be divided into two groups: those who earn money and those who don’t. Only those frontline people who develop, produce, and sell products are earning money for the company. The ideal company would have only one person who does not earn money – the president – leaving the rest of the employees directly involved in revenue-generating activity."

The people who do not earn money are those who sit on top of the money earners – all employees with titles such as chief, head, or manager, including the president and all staff, and spanning areas that include personnel, finance, advertising, quality, and industrial engineering. No matter how hard these people may work, they do not directly earn money for the company. Fort his reason, they might be better refereed to as "dependents." If money earners stop work for one second, the company’s chances of making money will be lost by one second.

The trouble is that non-money earners often think that they know better and are better qualified than money earners because they are better educated. They often
make the job of the latter more difficult. Non-money earners may think, "Without
us, they cannot survive," when they should be thinking, "What can we do to help
them do their job better without us?"

If we call the customer king, we should call the gemba people Buddha." Golden Rules of gemba Management Staying in close contact with and understanding gemba is the first step in managing a work site effectively. Hence the five golden rules of gemba management:
1) When a problem (abnormality) arises, go to gemba first.
2) Check the gembutsu (relevant item).
3) Take temporary countermeasures on the spot.
4) Find the root cause.
5) Standardize to prevent recurrence.

In this article, I will elaborate on the first item of the golden rules. Go to gemba Management is responsible for hiring and training workers, setting the standards for their work, and designing the products and processes. Thus, management sets the conditions in gemba, and whatever happens there reflects upon management. Managers must know the conditions at the plant; thus the axiom "Go to gemba first." As a matter of routine, managers and supervisors should immediately go to the site, stand in one spot for five minutes, and attentively observe what goes on. One can learn a great deal in five minutes. After developing the habit of going to gemba, the manager can easily identify abnormality whenever it happens, and address such problems. When you are in gemba, what you see is the real data. When you have a good look at what has happened, chances are that you can solve the problem right there on the spot, and do not need any report.

Most managers prefer their desk as their workplace, wish to distance themselves
from the events taking place in gemba. Most managers come into contact with reality only through their daily, weekly, or even monthly reports, or other meetings.

Kristianto Jahja, a kaizen consultant who worked for the joint venture in Indonesia between the Astra group and Toyota Motor Company, recalls the first time he was sent to Toyota’s plant in Japan for training. On the first day, a supervisor who was assigned as his mentor took him to a corner of the plant, drew a small circle on the floor with chalk, and told him to stay within the circle all morning and keep his eyes on what was happening.

So, Kristianto watched and watched. Half an hour, an hour as time passed, he became bored as he was simply watching routine and repetitive work.
Then, he became angry, and said to himself, "What is he trying to do? I am supposed to learn something here, but he doesn’t teach me anything. Does he want to show his power? What kind of training is this?" Before he became too exhausted, though, the supervisor came back and took him to the meeting room.

Kristianto was asked to describe what he had observed, together with questions like "What did you see there?" and "What did you think about that process?" When Kristianto could not answer most of the questions he realized that he had missed many vital points in his observations.

Kristianto was asked to describe what he had observed, together with questions like "What did you see there?" and "What did you think about that process?" When Kristianto could not answer most of the questions he realized that he had missed many vital points in his observations.

The supervisor patiently explained to Kristianto the points he failed to answer
using drawings and sketches on a sheet of paper, so that he could describe the processes more clearly and accurately. It was at this point that Kristianto understood his mentor’s deep understanding of the process and realized his ignorance.

Slowly, but steadily, his mentor’s lesson became clear: gemba is a source of all
information. Then, his mentor said that to qualify as a Toyota man, one must love gemba, and that every Toyota employee believes gemba to be the most important place in the company.

Says Kristianto, "Definitely, this was the best training I ever had, as it helped me to truly become a gemba man, and this gemba thinking always influenced me throughout my career. Even now, every time I see a problem, my mind immediately shouts out loud and clear: Go to gemba first and have a look!"

This is a common training method in Japanese gemba. Taichi Ohno is credited with having developed the Toyota Production System. When Ohno noticed a supervisor out of touch with the realities of gemba, he would take the supervisor to the plant,draw a circle, and have the supervisor stand in it until he gained awareness. Ohno urged managers to visit gemba too. He would say, "Go to gemba every day. And when you go, don’t wear out the soles of your shoes in vain. You should come back with at least one idea for kaizen."

One of the best ways to stay in close contact with gemba is to live in gemba, namely, to move ones desk to gemba.

Many Japanese companies have introduced "resident engineers." These are engineers who have been relocated to gemba so that they can promptly answer technical questions asked by gemba people or make some technical changes without going through red tapes. Often, the engineering department is moved to the plant site from the ivory towers of the head office. Managers should be encouraged to go to "Gemba".

Source: KAIZEN Institute, Ltd. by MSY-APICS

Kejujuran Dan Kekayaan Bangsa

Kejujuran dan Kekayaan Bangsa
Sindo, Senin, 24/09/2007

BARU-BARU ini, sewaktu berada di Bangkok untuk memeriksakan diri, penulis tinggal di Rumah Sakit (RS) Bumrungrad. Nama rumah sakit itu dalam bahasa kita berarti rumah sakit rakyat. Padahal, RS tersebut sebenarnya untuk kalangan atas,bukan untuk rakyat.

Kebanyakan pasiennya orang-orang Arab kaya, yang kini tidak dapat masuk ke Amerika Serikat (AS). Alasannya ternyata karena nama mereka biasanya didahului oleh kata Ahmad atau Muhammad. Hal semacam ini juga dirasakan warga bangsa kita yang memakai nama Arab. Karena orang-orang Arab yang berobat ke AS biasanya orang kaya, ketika mereka berobat ke RS tersebut, Bangkok dan sekitarnya menjadi kaya juga.

Bahkan, RS tersebut kini telah dimiliki orang kaya dari Dubai, kota di kawasan Teluk Arab. Sebagai akibatnya, RS tersebut beserta daerah sekitarnya menjadi ‘daerah Arab’. Mungkin ini adalah harga mahal yang harus dibayar Pemerintah Thailand untuk memperoleh modal para saudagar Arab itu. Restoran-restoran di kawasan itu berpapan nama huruf Arab. Karena penghuni RS yang umumnya orang Arab, nama-nama sekian banyak barang di kawasan tersebut juga nama Arab.

Kita berjalan di kawasan itu rasanya seperti di Beirut, dengan begitu banyak musik Arab yang terdengar, padahal ini Bangkok. Seorang tamu menyatakan pada penulis, di kawasan tersebut ada restoran yang menjual makanan dari daging babi. Tentu saja restoran tersebut bukan untuk melayani orang-orang muslim. Langganannya adalah gadis-gadis muda Thailand penjaja seks yang beroperasi di ”kawasan Arab”. Semua itu dilakukan demi devisa yang diharapkan dari kawasan ini. Di tengah keadaan itu, penulis membaca sebuah majalah ukuran kecil, Reader’s Digest.

Di dalamnya ada sebuah artikel tulisan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy. Yang menarik dari tulisan itu,Sarkozy mengambil hikmah ”pelajaran sejarah” dari masa modern AS dan Prancis. Sarkozy berbicara tentang bagaimana kemenangan politiknya diperoleh dari kemampuannya menilai sejarah modern dua bangsa tersebut. Karenanya, dia menunjukkan bagaimana dirinya jatuh bangun di dunia politik Prancis, melalui pengamatan yang teliti atas hidupnya sendiri. Dia mengaku dekat dengan mantan Presiden Jacques Chirac, tapi tidak mau jadi pengikutnya.

Bahkan dia justru menjadi pengikut saingan Chirac dalam Pemilu Prancis. Walaupun pada akhirnya dia menjadi pemimpin kampanye Chirac, dia tetap dapat memelihara independensi dari ketergantungan berlebih pada Chirac. Ini pula yang membuatnya mampu mengalahkan lawan dari kalangan sosialis, Segolene Royal. Lewat artikel itu Sarkozy mengemukakan keranjingannya terhadap AS. Dia menyatakan niat untuk belajar dari cara-cara orang AS dalam menerapkan sistem politik.

Dia kemukakan bagaimana di masa lampau bangsa Prancis mengambil teladan dari sistem politik AS. Beberapa kejadian penting di AS bahkan dinamakannya sebagai sumber inspirasi bagi Bangsa Prancis untuk menjadi pedoman mereka. Bahkan banyak hal yang diekspresikan sebagai ”pola Prancis” sebenarnya merupakan pengalaman- pengalaman yang diambil bangsa Prancis dari bangsa AS.

Begitu pun kekagumannya terhadap konstitusi AS. Dari sekian panjang tulisan,ada hal yang dikerjakan oleh bangsa AS tetapi tidak dipaparkan Sarkozy sama sekali.Hal itu adalah batasanbatasan yang dipakai bangsa AS terhadap konstitusi mereka. Presiden ketiga AS,Thomas Jefferson, mengemukakan hak-hak individu dalam konstitusi bangsanya. Pembahasannya terus berlangsung dari zaman hidupnya hingga kini, antara lain tentang hak warga negara untuk kawin dan berumah tangga dengan sesama lelaki atau perempuan (perkawinan kaum homoseks).

Mereka tidak hanya dapat tinggal serumah, tetapi memiliki sejumlah hak seperti waris mewaris dan mempunyai anak. Sebaliknya, menteri keuangan presiden tersebut, yaitu Alexander Hamilton, mengutamakan hak-hak negara bagian (state), seperti Presiden Bush Jr sekarang ini. Kedua pandangan berlawanan itu berdialog tentang konstitusi AS, dari zaman Jefferson hingga sekarang,dalam waktu sekitar dua seperempat abad.

Sebenarnya Sarkozy juga dapat belajar dalam mencari garis batas pembahasan bangsa Prancis atas konstitusi mereka. Yaitu sebagaimana dilakukan Charles de Gaulle terhadap sistem politik Prancis, terkenal dengan nama Konstitusi Republik Kelima. De Gaulle tidak mau membahas sejarah Prancis kalau tidak mengenai kebesaran (grandeur) dan kejayaan bangsa itu. Namun, setelah kematiannya tidak ada lagi yang berbicara tentang seluruh sejarah hidup de Gaulle.Sarkozy,yang juga melupakan betapa hebatnya de Gaulle, mungkin tidak membaca sejarah de Gaulle sebagai pembawa pikiran segar bangsa Prancis.

”Kesepian” de Gaulle ini seperti kesendirian Mao Tse Tung dalam buku Stuart Schram yang menggambarkan Mao senantiasa merasa kesepian dalam hidupnya.Walaupun Mao selalu dikelilingi orang banyak,terutama dari Partai Komunis China (PKC), Mao selalu berujar, ”Aku sendirian karena aku bersama rakyat.” Ini pula yang dikemukakan Napoleon Bonaparte menjelang kekalahannya yang kedua. Sejarah ini begitu sering terjadi, hingga manusia hilang dari muka dunia. Hal biasa dalam sejarah hidup manusia,bukan? Bangkok, 14 September 2007 *

Penulis adalah mantan Presiden R ABDURRAHMAN WAHID*

Handling Non-Normal Data in SEM

Handling non-normal data in structural equation modeling (SEM)

Question:
I am having trouble getting my hypothesized structural equation model to fit my data. Someone told me that non-normal data are a problem for SEM models; this person suggested using the generalized least-squares (GLS) estimator to fit my model instead of the default maximum likelihood (ML) estimator. What is the best way to handle non-normal data when fitting a structural equation model?

Answer:
The hypothesis tests conducted in the structural equation modeling (SEM) context fall into two broad classes: tests of overall model fit and tests of significance of individual parameter estimate values. Both types of tests assume that the fitted structural equation model is true and that the data used to test the model arise from a joint multivariate normal distribution (JMVN) in the population from which you drew your sample data. If your sample data are not JMVN distributed, the chi-square test statistic of overall model fit will be inflated and the standard errors used to test the significance of individual parameter estimates will be deflated. Practically, this means that if you have non-normal data, you are more likely to reject models that may not be false and decide that particular parameter estimates are statistically significantly different from zero when in fact this is not the case (type 1 error). Note that this type of assumption violation is also a problem for confirmatory factor analysis models, latent growth models (LGMs), path analyses, or any other type of model that is fit using structural equation modeling programs such as LISREL, EQS, AMOS, and PROC CALIS in SAS.

How can you correct for non-normal data in SEM programs? There are three general approaches used to handle non-normal data:
1. Use a different estimator (e.g., GLS) to compute goodness of fit tests, parameter estimates, and standard errors
2. Adjust or scale the obtained chi-square test statistic and standard errors to take into account the non-normality of the sample data
3. Make use of the bootstrap to compute a new critical chi-square value, parameter estimates, and standard errors

Estimators
Most SEM software packages offer the data analyst the opportunity to use generalized least-squares (GLS) instead of the default maximum likelihood (ML) to compute the overall model fit chi-square test, parameter estimates, and standard errors. Under joint multivariate normality, when the fitted model is not false GLS and ML return identical chi-square model fit values, parameter estimates, and standard errors(Bollen, 1989). Recent research by Ulf H. Olsson and his colleagues, however, (e.g., Olsson, Troye, & Howell, 1999) suggests that GLS underperforms relative to ML in the following key areas:

1. GLS accepts incorrect models more often than ML
2. GLS returns inaccurate parameter estimates more often than ML

A consequence of (2) is that modification indices are less reliable when the GLS estimator is used. Thus, we do not recommend the use of the GLS estimator. A second option is to use Browne's (1982) Asymptotic Distribution Free (ADF) estimator, available in LISREL. Unfortunately, the use of ADF requires sample sizes that exceed at least 1000 cases and small models due to the computational requirements of the estimation procedure. As Muthén (1993) concludes, "Apparently the asymptotic properties of ADF are not realized for the type of models and finite sample sizes often used in practice. The method is also computationally heavy with many variables. This means that while ADF analysis may be theoretically optimal, it is not a practical method" (p. 227).

For these reasons, the standard recommendation is to use the ML estimator (or one of the variants described below) when fitting a model to data that are drawn from a population with variables that are assumed to be normally and contiuously distributed in the population from which you drew your sample. By contrast, if your variables are inherently categorical in nature, consider using a software package designed specifically for this type of data. Mplus is one such product. It is uses a variant of the ADF method mentioned previously, weighted-least squares (WLS). WLS as implemented by Mplus for categorical outcomes does not require the same sample sizes as does ADF for continuous, non-normal data. Further discussion of the WLS estimator is beyond the scope of this FAQ; interested readers are encouraged to peruse Muthén, du Toit, and Spisic (1997) and Muthén (1993) for further details.

Robust scaled and adjusted Chi-square tests and parameter estimate standard errors A variant of the ML estimation estimation approach is to correct the model fit chi-square test statistic and standard errors of individual parameter estimates. This approach was introduced by Satorra and Bentler (1988) and incorporated into the EQS program as the ml,robust option. The ml,robust option in EQS 5.x provides the Satorra-Bentler scaled chi-square statistic, also known as the scaled T statistic that tests overall model fit. Current, West, and Finch (1996) found that the scaled chi-square statistic outperformed the standard ML estimator under non-normal data conditions. Mplus also offers the scaled chi-square test and accompanying robust standard errors via the estimator option mlm. Mplus offers also offers a similar test statistic called the Mean and Variance adjusted chi-square statistic via the estimator option mlmv.

An adjusted version of the scaled chi-square statistic is presented in Bentler and Dudgeon (1996). Fouladi (1998) conducted an extensive simulation study that found that this adjusted chi-square test statistic outperformed both the standard ML chi-square and the original scaled chi-square test statistic, particularly in smaller samples. Unfortunately, the adjusted test statistic is not available in EQS 5.x.

The robust approaches work by adjusting, usually downward, the obtained model fit chi-square statistic based on the amount of non-normality in the sample data. The larger the multivariate kurtosis of the input data, the stronger the applied adjustment to the chi-square test statistic. Standard errors for parameter estimates are adjusted upwards in much the same manner to reduce appropriately the type 1 error rate for individual parameter estimate tests. Although the parameter estimate values themselves are the same as those from a standard ML solution, the standard errors are adjusted (typically upward), with the end result being a more appropriate hypothesis test that the parameter estimate is zero in the population from which the sample was drawn.

Bootstrapping
The robust scaling approach described above adjusts the obtained chi-square model fit statistic based on the amount of multivariate kurtosis in the sample data. An alternative method to deal with non-normal input data is to not adjust the obtained chi-square test statistic and instead adjust the critical value of the chi-square test. Under the assumption of JMVN and if the fitted model is not false, the expected value of the chi-square test of model fit is equal to the model's degrees of freedom (DF). For example, if you fit a model that was known to be true and the input data were JMVN and the model had 20 DF, you would expect the chi-square test of model fit to be 20, on average. On the other hand, non-normality in the sample data can inflate the obtained chi-square to a value that exceeds DF, say 30. The robust scaled and adjusted chi-square tests mentioned in the previous section work by lowering the value of the obtained chi-square to correct for non-normality. For instance, in this example a reasonable value for the robust scaled or adjusted chi-square might be 25 instead of 30. Ideally, the adjusted chi-square would be closer to 20, but the adjustments are not perfect.

Bootstrapping works by computing a new critical value of the chi-square test of overall model fit by computing a new critical chi-square value. In our example, instead of the JMVN expected chi-square value of 20, a critical value generated via the bootstrap might be 27. The original obtained chi-square statistic for the fitted model (e.g., 30) is then compared the bootstrap critical value (e.g., 27) rather than the original model DF value (e.g., 20). A p-value based upon the comparison of the obtained chi-square value to the bootstrap-generated critical chi-square value is then computed.

How is the bootstrap critical chi-square value generated? First, the input data is assumed to be the total population of responses and the bootstrap program draws samples, with replacement, of size N from this pseudo-population repeatedly. For each drawn sample, the input data are transformed to assume that your fitted model is true. This step is necessary because the critical chi-square value is computed from a central chi-square distribution; a central chi-square distribution assumes the null hypothesis is not false. The same assumption is made when you use the standard ML chi-square to test model fit: the obtained chi-square is equal to the model DF when the null hypothesis is not rejected.

Next, the model is fit to the data and the obtained chi-square is output and saved. This process is repeated across each of the bootstrap samples. At the conclusion of the bootstrap sampling, the bootstrap program collects the chi-square model fit statistics from each sample and computes their mean value. This mean value becomes the critical value for the chi-square test from the original analysis.

The procedure detailed above is credited to Bollen and Stine (1993) and is implemented in AMOS. AMOS allows the data analyst to specify the number of bootstrap samples drawn (typically 250 to 2000 bootstrap samples) and it outputs the distribution of the chi-square values from the bootstrap samples as well as the mean chi-square value and a Bollen-Stine p-value based upon a comparison of the original model's obtained chi-square with the mean chi-square from the bootstrap samples.

AMOS also computes individual parameter estimates, standard errors, confidence intervals, and p-values for tests of significances of individual parameter estimates based upon various types of bootstrap methods such as bias-correction and percentile-correction. Mooney and Duval (1993) and Davison and Hinkley (1997) describe these methods and their properties whereas Efron and Tibshirani (1993) provide an introduction to the bootstrap. Fouladi (1998) found in a simulation study that the Bollen-Stine test of overall model fit performed well relative to other methods of testing model fit, particularly in small samples.

Cautions and notes
One of the corollary benefits of the bootstrap is the ability to obtain standard errors and therefore p-values for quantities for which normal theory standard errors are not defined, such as r-square statistics. A primary disadvantage of the bootstrap and the robust methods mentioned previously is that they require complete data (i.e., no missing data are allowed). Use of the bootstrap method requires the data analyst to set the scale of latent variables by fixing a latent variable's value to 1.00 rather than by fixing the corresponding factor's variance value to 1.00because under the latter scenario bootstrapped standard error estimates may be artificially inflated by switching positive and negative factor loadings across bootstrap samples (Hancock & Nevitt, 1999).

if you have any questions, send E-mail to stats@its.utexas.edu

Measuring Model Fit

Measuring Model Fit

Fit refers to the ability of a model to reproduce the data (i.e., usually the variance-covariance matrix). It should be noted that a good-fitting model is not necessarily a valid model. There are now literally hundreds of measures of fit.

Moreover, a model all of whose parameters are zero is of a "good-fitting" model. This page includes some of the major ones, but does not pretend to include all the measures. Though a bit dated, the book edited by Bollen and Long (Testing structural equation models. Newbury Park, CA: Sage, 1993) explains these indexes and others.

Chi Square: X2
For models with about 75 to 200 cases, this is a reasonable measure of fit. But for models with more cases, the chi square is almost always statistically significant. Chi square is also affected by the size of the correlations in the model: the larger the correlations, the poorer the fit. For these reasons alternative measures of fit have been developed. (A website for computing p values for chi square.)

Chi Square to df Ratio: X2/df
There are no consistent standards for what is considered an acceptable model.

Transforming Chi Square to Z
Z = √(22) - √(2df - 1)

where df refers to the degrees of freedom of the model.

Bentler Bonett Index or Normed Fit Index (NFI)
Define the null model as a model in which all of the correlations or covariances are zero.

The null model is referred to as the "Independence Model" in

X2(Null Model) - X2(Proposed Model)
-----------------------------------
X2(Null Model)

A value between .90 and .95 is acceptable, and above .95 is good. A disadvantage of this measure is that it cannot be smaller if more parameters are added to the model. Thus, the more parameters added to the model, the larger the index. It is for this reason that this measure is not used much anymore, but rather one of the next two is used.

Tucker Lewis Index or Non-normed Fit Index (NNFI)
A problem with the Bentler-Bonett index is that there is no penalty for adding parameters. The Tucker-Lewis index does have such a penalty. Let X2/df be the ratio of chi square to its degrees of freedom

X2/df(Null Model) - X2/df(Proposed Model)
-----------------------------------------
X2/df(Null Model) - 1

If the index is greater than one, it is set at one. It is interpreted as the Bentler-Bonett index. Note than for a given model, a lower chi square to df rati (as long as it is not less than one) implies a better fitting model.

Comparative Fit Index (CFI)
This measure is directly based on the non-centrality measure.
Let d = X2 - df where df are the degrees of freedom of the model.

The Comparative Fit Index equals
d(Null Model) - d(Proposed Model)
---------------------------------
d(Null Model)

If the index is greater than one, it is set at one and if less than zero, it is set to zero. It is interpreted as the previous indexes. If the CFI is less than one, then the CFI is always greater than the TLI. CFI pays a penalty of one for every parameter estimated.

Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA)
This measure is based on the non-centrality parameter.
Its formula can be shown to equal:

√[X2/df - 1) /(N - 1)]

where N the sample size and df the degrees of freedom of the model.
(If X2 is less than df, then RMSEA is set to zero.) Good models have an RMSEA of .05or less. Models whose RMSEA is .10 or more have poor fit.

A confidence interval can be computed for this index. First, the value of the non-centrality parameter is determined by X2 - df. The confidence interval for non centrality parameter can be determined for X2, df, and the width of the confidence interval. (One can use the function "CNONCT" within SAS to compute these values. Also a website for computing p values for the non-centrality parameter.) Then these values are substituted for X2 - df into the formula for the RMSEA.

Ideally the lower value of the 90% confidence interval includes or is very near zero and the upper value is not very large, i.e., less than .08.
p of Close Fit (PCLOSE)

The null hypothesis is that the RMSEA is .05, a close-fitting model. The p value examines the alternative hypothesis that the RMSEA is greater that .05. So if the p is greater than .05, then it is concluded that the fit of the model is "close."

Standardized Root Mean Square Residual (SRMR)
This measure is the standardized difference between the observed covariance and predicted covariance. A value of zero indicates perfect fit. This measure tends to be smaller as sample size increases and as the number of parameters in the model increases. A value less than .08 is considered a good fit.

Akaike Information Criterion (AIC)
This measure indicates a better fit when it is smaller. The measure is not standardized and is not interpreted for a given model. For two models estimated from the same data set, the model with the smaller AIC is to be preferred.

X2 + k(k - 1) - 2df

where k is the number of variables in the model and df is the degrees of freedom of the model. Note that k(k - 1) - 2df equals the number of free parameters in the model. The AIC makes the researcher pay a penalty of two for every parameter that is estimated. The absolute value of AIC has relatively little meaning; rather the focus is on the relative size, the model with the smaller AIC being preferred.

GFI and AGFI (LISREL measures)
These measures are affected by sample size and can be large for models that are poorly specified. The current consensus is not to use these measures.

Hoelter Index
The index should only be computed if the chi square is statistically significant. Its formula is:
(N - 1)X2(crit)
--------------- + 1
X2

where N is the sample size, X2 is the chi square for the model and X2(crit) is the critical value for the chi square. If the critical value is unknown, the following approximation can be used:
[1.645 + √(2df - 1)]2
---------------------- + 1
2X2/(N - 1)

where df are the degrees of freedom of the model. For both of these formulas, one rounds down to the nearest integer value. The index states the sample size at which chi square would not be significant, i.e., that is how small one's sample size would have to be for the result to be no longer significant. Hoelter recommends values of at least 200. Values of less than 75 indicate very poor model fit.